Inibaru.id - Seandainya Shakespeare menulis lakon hari ini, kiranya ia tak akan menyebut dunia sebagai panggung sandiwara, tapi sirkus: gaduh, penuh sorak, dan badut-badut berebut mimbar sambil menjual tiket masuk.
Jangan buru-buru menyalahkan yang aneh. Kadang, keanehan adalah satu-satunya kewarasan yang tersisa.
Di era algoritma, bukan isi yang dicari, tapi reaksi. Logika dihujat karena lambat, kebenaran kalah cepat dari sensasi. Maka panggung dipenuhi yang aneh—atau setidaknya, tampak aneh.
Tapi apa beda antara aneh dan nyeleneh?
Pisau Pembedah Zaman
Aneh adalah keberanian menolak pola karena melihat arah yang belum tampak.
Nyeleneh ingin tampil beda.
Aneh bisa jadi obor. Nyeleneh sering hanya percikan kembang api.
Mari kita pisahkan dengan pisau pemahaman.
Ada aneh yang bermakna karena dibentuk keadaan.
Ada nyeleneh yang kosong karena lapar panggung.
Ada juga aneh yang sesat karena niat tanpa arah.
Trump. Nyeleneh karena tahu: marah itu menguntungkan. Ia membelah, bukan memimpin. Produk dari kebosanan massal, menjadi kejutan.
Greta Thunberg. Aneh karena terlalu muda untuk menggugat tua. Ia hadir bukan dengan kekuasaan, tapi dengan keberanian merangsek ke ruang formal dengan poster karton.
Jacinda Ardern. Aneh karena mundur saat dicintai. Ia tak memburu jabatan. Justru itu membuatnya layak dihormati.
Elon Musk. Nyeleneh yang sulit ditebak. Antara jenius dan kekacauan. Mars jadi mimpi, bumi jadi arena gaduh. Pendukung Trump jilid dua. Kongsi pecah seumur jagung.
Angela Merkel. Aneh karena tenang. Berani menentang Trump.
Malala Yousafzai. Aneh karena sederhana. Ia hanya ingin belajar. Tapi ketulusan kadang terlihat mengancam bagi kekuasaan yang rapuh.
Wajah-Wajah Zaman Ini
Aneh dan nyeleneh bukan hanya milik dunia luar. Di sini pun panggungnya tak kalah meriah. Indonesia mengenal keduanya. Dan sering kali tertukar.
Gus Dur. Aneh karena tak bisa ditebak. Nyeleneh bagi protokol. Tapi ia bicara minoritas, menertawakan kuasa, dan meruntuhkan dinding ketakutan.
Candanya bukan main-main. Itu caranya menyampaikan yang tak bisa diucapkan dengan marah.
“Saya ini simbol dari orang yang dipinggirkan, tapi tidak pernah kehilangan akal.” – Gus Dur
Jokowi. Awalnya tampak aneh: pemimpin turun ke pasar, menyusuri gang, mendengar rakyat. Tapi perlahan, keanehan itu retak. Blusukan, semula otentik, ternyata siasat. Masuk ke got saat kamera siap. Diamnya bukan ketenangan, tapi kalkulasi. Arah jadi kabur, keanehan berubah jadi koreografi. Kita kira ia mendobrak panggung, ternyata sedang membangun pencitraan, mewariskan kekuasaan.
Politikus medsos. Nyeleneh yang senang kamera. Joget, pantun, viral. Tapi kosong di kebijakan. Demokrasi jadi konten. Rakyat jadi penonton.
Cermin untuk Kita
Dan kita?
Kita ingin pemimpin jujur, tapi mudah terpikat pada yang tampil percaya diri.
Kita ingin arah, tapi lebih sering terpukau pada gaya.
Kita menuntut isi, tapi lebih cepat memilih yang bisa memicu sensasi.
Kita mudah percaya pada performer.
Barangkali yang aneh bukan hanya para pemimpin.
Tapi kita—yang tak lagi sabar mendengar penjelasan panjang, langsung terpikat pada ledakan semenit.
Bisa jadi, para performer hanya memenuhi pesanan pasar.
Pasar itu adalah kita. Maka jangan hanya menunjuk ke panggung.
Lihat juga kursi penonton.
“Kamera tak pernah lapar makna—hanya lapar gerakan.”
“Banyak pemimpin hari ini berbicara seperti YouTuber, bukan negarawan.”
Terlalu banyak yang nyeleneh ingin disangka aneh.
Terlalu banyak yang gaduh ingin disebut otentik.
Zaman ini tak lagi peduli isi. Yang penting lagak.
Kita memilih pemimpin seperti memilih filter:
yang bikin beda, bukan yang bikin benar.
Karena itu, kita perlu pisau.
Pisau untuk memilah antara yang berani dan yang berisik.
Antara yang punya isi dan yang hanya punya gimmick.
“Mereka yang menari dianggap gila oleh yang tak mendengar musiknya.” – Nietzsche
Tapi hari ini, banyak yang menari hanya karena musiknya viral.
Dan kita ikut tepuk tangan.
Aneh bukan tujuan. Aneh adalah risiko berpikir jernih di dunia yang keruh.
Nyeleneh bukan keberanian. Ia cuma lapar sorotan yang dikemas sebagai pembangkangan.
“Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki.” – Mohammad Hatta.
