Inibaru.id – Di tengah hutan dan sawah Jawa, di abad ke-19, muncul sebuah gerakan unik: Samin, atau Sedulur Sikep. Bukan dengan senjata, bukan dengan perlawanan fisik. Mereka justru memilih cara yang tenang, penuh prinsip, dan tanpa kekerasan untuk melawan kebijakan kolonial Hindia Belanda.
Tokohnya adalah Surosentiko Samin, seorang petani asal Randublatung, Blora. Dia adalah seorang ningrat yang memilih hidup merakyat bernama asli Raden Kohar. Sekitar tahun 1890, Samin mulai menarik simpati dari warga desa-desa yang merasa terbebani oleh pajak, kerja paksa (kerja rodi atau kerja paksa di hutan dan ladang), dan aturan kolonial lain yang dianggap merugikan rakyat kecil. Mereka akhirnya memberontak.
Apa yang dilakukan kaum Samin nggak seperti pemberontakan bersenjata ya, Gez. Mereka nggak membakar kantor, nggak mengangkat senjata, dan nggak melakukan kerusakan fisik. Sebaliknya, mereka menolak membayar pajak yang dianggap nggak adil, menolak ikut kerja paksa, dan memilih diam atau jawaban samar terhadap perintah aparat.
Mereka tetap bertani, tetap menanam padi, mengolah lahan mereka sendiri, tetapi enggan mengirim mahal pajak kepada pemerintah kolonial. Ketika dipaksa kerja paksa di hutan, mereka lebih memilih menghindar; jika dilarang mengambil kayu bakar, mereka tetap melakukannya karena bagi mereka kayu adalah sumber hidup.
Nilai-nilai Samin: Kesederhanaan, keadilan, dan kebenaran
Gerakan Samin dipupuk atas dasar nilai kejujuran. Karena itu, mereka menyebut diri sebagai Sedulur Sikep atau Wong Sikep yang berarti orang jujur. Selain itu, mereka juga menjunjung keadilan sosial, kesabaran, dan melayangkan kritik terhadap praktik ketidakadilan. Mereka percaya bahwa orang biasa memiliki hak atas tanah, akses terhadap hutan, dan nggak seharusnya dipaksa membayar pajak atau kerja tanpa bayaran yang adil.
Lebih dari itu, mereka mengembangkan ajaran moral dan spiritual, bukan sebagai agama baru sepenuhnya, tapi sebagai cara hidup yang menyertakan etika sosial yang kuat. Mereka mengajarkan agar setiap orang dipandang sama, bahwa tiap manusia mempunyai harga diri, dan bahwa ketundukan terhadap kolonial seharusnya ditolak melalui tindakan-tindakan pasif tapi bermakna.
Dampak dan Warisan yang Bertahan
Penguasa kolonial Belanda memang merespons tekanan ini. Soerontiko Samin ditangkap dan diasingkan pada tahun 1907, bersama beberapa pengikutnya. Namun ajaran dan semangat Sedulur Sikep nggak langsung mati. Banyak desa di Blora, Bojonegoro, Grobogan masih mempertahankan tradisi penolakan pajak dan kerja paksa dalam bentuk lokal, dalam nilai budaya, dalam ritual dan cerita lisan.
Hari ini, sejarah Samin atau Sedulur Sikep sering digali sebagai contoh nyata bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan bisa dilakukan dengan cara damai, dengan keteguhan hati, bahkan tanpa angkat senjata sekalipun. Nilai keadilan, kesederhanaan, dan hidup selaras dengan alam masih menjadi inspirasi bagi banyak orang.
Nah, gimana menurutmu, sudahkah kita belajar dari kearifan mereka untuk melawan ketidakadilan masa kini dengan cara yang bijak, Gez? (Siti Zumrokhatun/E05)
