Inibaru.id - Kota Semarang masih diguyur hujan saat kami, Akademi Tugu Muda, berlatih penguasaan bola kala itu. Lapangan Citarum yang belum berganti menjadi rumput sintesis digenangi air di mana-mana. Namun, alih-alih menghentikan latihan, Sartono Anwar justru kian lantang berteriak.
“Kalau kontrol bola, jauhkan dari lawan! Itu prinsip. Prinsip adalah prinsip!” serunya, yang membuat kami bergeming tanpa berani memalingkan pandangan darinya.
Kalau Pak Sar, sapaan akrab kami, sudah berteriak, pasti ada sesuatu yang kacau. Teriakan-teriakannya kala itu selalu terngiang di telinga saya hingga sekarang.
Saya bersyukur pernah dilatih lelaki yang identik dengan topi pet itu, yang melahirkan banyak bakat baru di jagat sepak bola Tanah Air, khususnya dari Kota Semarang. Untuk alasan ini pulalah belum lama ini saya menemui Pak Sar, mencoba menggali banyak hal dari lelaki paruh baya tersebut.
Sartono kini jauh lebih tua. Tubuhnya nggak lagi gempal. Rambutnya memutih. Kulitnya juga mulai tampak keriput digurat waktu. Hanya wajahnya yang masih seangker dulu: ramah, tapi tegas. Bisa membayangkannya?
“Saya sudah 74 (tahun). Sekarang ya masih melatih SSB. Saya nggak bisa kalau disuruh diam di rumah,” sambut Pak Sar setelah mempersilakan saya duduk di ruangan yang dipenuhi pernak-pernik bola.
Sartono memang mengaku nggak bisa lepas dari sepak bola. Dia melatih sejak berumur 27 tahun, usia yang umumnya menjadi masa keemasan bagi pemain sepak bola. Keputusan itu diambilnya lantaran sadar, kemampuannya nggak cukup istimewa sebagai pemain.
Kejadian ini bermula pada 1975. Kala itu, pelatih PSIS melakukan indisipliner dan dicopot dari jabatannya. Atas kesepakatan tim, Sartono ditunjuk sebagai pelatih lantaran dianggap memiliki karakter yang kuat dan disiplin tinggi.
Nggak lama berselang, Sartono diminta menjadi pendamping dari Pelatih Timnas Indonesia Wiel "the Albert Einstein of Football" Coerver (1975-1976) dalam Diklat PSSI di Salatiga. Setelah itu, Sartono langsung ke Belanda untuk menjalani S3 Instrukutur kepelatihan.
Pada 1977 dia melanjutkan pendidikannya di S2 Instruktur Bary B di Inggris. Dua tahun berselang, tepatnya pada 1979 dia mengambil S1 Instruktur Ron Tindal di Australia.
“Saat menangani PSSI Diklat Salatiga, saya sempat dianggap remeh karena usia saya sama dengan pemain,” ujar lelaki yang mengaku juga sempat menjadi bagian dari Tim Pelatih PSSI Binatama ke Brazil itu.
Semenjana sebagai pemain, luar biasa sebagai pelatih. Itulah yang saya pikirkan dari sosok Pak Sar. Dia memiliki lisensi kepelatihan yang komplet, termasuk sertifikat pendidikan kepelatihan DFB Jerman serta Lisensi A AFC.
Banyaknya pendidikan pelatih di luar negeri itu agaknya yang menjadikan Sartono selalu menerapkan sepak bola modern di Indonesia.
Wartawan kawakan Tabloid Bola Sumohadi Marsis dalam kolom Catatan Ringan-nya pada 1987 pernah menyebut permainan PSIS pasca-juara perserikatan sebagai “Sartono’s Football” atau yang sekarang dikenal sebagai Sepak Bola Semarangan.
Dibanding tim lain, PSIS yang kala itu diperkuat Budi Wahyono, Saiful Amri dan Ribut Waidi memang memainkan sepak bola yang "berbeda". Mengagumkan. Bahkan, nggak sedikit yang bilang, permainan Timnas harusnya seperti Laskar Mahesa Jenar.
“Saya kan pakai (pola permainan) pendek-pendek-panjang. Main merapat dari samping. Waktu itu kan kiblatnya Inggris yang suka bola-bola panjang,” terangnya.
Harus Dibarengi Disiplin Tinggi
Strategi melatih tentu harus dibarengi dengan kedisiplinan yang tinggi. Inilah yang selalu didengungkan Sartono. Saya merasakannya. Sepanjang dilatih Pak Sar, dia nggak pernah terlambat. Dia datang sekitar 1-2 jam sebelum waktu latihan, bahkan untuk sesi latihan pagi.
Di lapangan, coach Sartono juga terkenal tegas. Dia rajin berteriak, juga mengumpat. Saya pikir, ini sudah menjadi rahasia umum.
“Saya, kalau melatih, memang harus keras. Dulu, wah, omongan saya memang kotor-kotor," terang Sartono, lalu tertawa. "Tapi, sekarang saya kurangi. Nggak baik juga kalau sering-sering!”
Ketegasan yang dibarengi dengan attitude dan kemampuan mumpuni di dunia kepelatihan sepak bola itu bukanlah isapan jempol belaka. Dia dipenuhi prestasi gemilang. Yang paling diingat Kota Semarang, tentu saja saat PSIS menjuarai Perserikatan pada 1987.
Tim yang kala itu berjuluk “Jago Becek” itu menjadi juara setelah melunakkan Persebaya Surabaya di Stadion Utama Senayan (sekarang Stadion Gelora Bung Karno).
Prestasi Sartono nggak hanya diukir di Kota Semarang, tanah kelahirannya. Pada 2010, dia membawa Persibo Bojonegoro promosi ke Indonesia Super League (ISL) setelah menjuarai Divisi Utama dengan skuad yang sempat dipandang sebelah mata.
“Waktu di Bojonegoro saya anggap beruntung. Apalagi, sering dikerjain wasit,” jelas ayah dari eks pemain Timnas Indonesia Nova Arianto ini.
Terkait isu dikerjain wasit ini, menurut Sartono, menjadi hal yang paling menjengkelkan bagi dia. Karena, ini ada hubungannya dengan suap. Sartono mengatakan, suap dalam sepak bola Indonesia nggak bisa dihindarkan, karena itulah dia sangat mengecamnya.
“Berat kalau sudah sama suap. Mau instruksi apa pun nggak berguna. Nggak bakal maju sepak bola Indonesia kalau begini terus,” ketus Sartono.
Sartono memang seperti nggak bisa dipisahkan dari sepak bola. Demi si kulit bundar, dia seakan rela melakukan apa saja. Dia bercerita, dulu sempat menolak saat disodori perpanjangan kontrak untuk tetap bekerja di Pertamina demi bisa bermain sepak bola.
Oya, satu hal yang mungkin nggak begitu banyak diketahui orang adalah bahwa Sartono adalah pelatih Timnas Futsal Indonesia pertama pada 2002. Di Semarang pun, meski nggak bertahan lama, dia pernah mendirikan sekolah futsal. Saya termasuk salah seorang anak didiknya.
Sartono berjanji, sampai tua dia akan terus melatih. Dia nggak bisa melewatkan hari-harinya tanpa sepak bola. Bahkan, ketika kawan-kawan seumurannya mulai berguguran dan geraknya nggak lagi sesigap dahulu, dia nggak mau berhenti.
Bagi sepak bola Semarang, dia adalah sesepuh sekaligus legenda. Saat saya bertanya, mau sampai kapan akan aktif di dunia sepak bola, dia terdiam. Matanya menerawang jauh dan berkaca-kaca.
“Mungkin sampai habis usia,” tandasnya setelah menghirup napas dalam-dalam.
Ah, saya ikut berkaca-kaca. Sehat selalu, Pak Sar! Demi dirimu, juga demi penerusmu di dunia sepak bola Indonesia! (Audrian F/E03)