Inibaru.id - Ungkapan “pembeli adalah raja” sudah lama hidup dalam budaya dagang kita. Slogan ini menekankan pelayanan prima dan penghormatan kepada pelanggan. Mengutip Essy Syam dalam Jurnal Ilmu Budaya Volume 4 (2007), pembeli adalah raja adalah slogan yang sangat dikenal di dunia perdagangan. Slogan ini bermakna harfiah, pembeli harus diperlakukan sebaik mungkin layaknya raja.
Sayangnya, kalau dipahami secara keliru, sikap melayani bisa berubah jadi pembenaran untuk bersikap semena-mena.
Kasus yang baru-baru ini viral di Sleman, DIY, seakan menegaskan itu. Sejumlah driver Shopee Food beramai-ramai mendatangi rumah seorang pelanggan berinisial T. Mereka menuntut penjelasan atas dugaan penganiayaan terhadap rekan mereka, Arzeto, dan kekasihnya, Ayuningtyas. Pasangan itu menjadi sasaran kemarahan hanya karena pesanan makanan terlambat diantar.
Padahal, keterlambatan bukan semata kelalaian. Ada double order dari sistem aplikasi dan kemacetan akibat iring-iringan kirab budaya di jalur pengantaran. Arzeto sudah berusaha memberi kabar soal situasi di jalan. Namun, saat akhirnya tiba di rumah pelanggan, dia justru disambut bentakan dan dugaan kekerasan.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah status pembeli sebagai “raja” berarti pekerja jasa harus selalu menerima perlakuan buruk?
Dalam konteks layanan daring seperti Shopee Food, tekanan makin berat. Kurir terhimpit target waktu, rating aplikasi, risiko di jalan, hingga ekspektasi pelanggan yang terkadang nggak realistis. Ketika pesanan terlambat, emosi pelanggan mudah terpancing, apalagi jika lapar ikut campur. Namun, alih-alih saling memahami, yang muncul justru ledakan amarah.
Nggak bisa ditampik bahwa budaya layanan di Indonesia masih kerap menempatkan pekerja jasa di posisi inferior. Akibatnya, pembeli dianggap boleh melakukan apa saja demi “hak” pelayanan. Padahal, relasi jual beli semestinya setara. Ada hak dan kewajiban di kedua sisi.
Konsumen Adalah Kawan
Kasus Sleman bisa jadi pengingat, bahwa “pembeli adalah raja” bukan berarti pekerja nggak punya harga diri. Saling menghormati jauh lebih bijak daripada merasa paling berkuasa hanya karena memegang uang pembayaran.
Berkaca dari kasus ini dan kasus serupa lainnya, sepertinya sudah saatnya kita meninggalkan slogan "Pembeli Adalah Raja" karena sudah nggak cukup relevan. Hermawan Kartajaya menyebut dalam buku Marketing 4.0: From Products to Customers to the Human Spirit, 'Konsumen adalah Kawan'.
Dengan menerapkan prinsip konsumen adalah kawan, maka derajat pedagang/penjual selaku pelaku bisnis dan pembeli sebagai konsumen akan berada pada level yang sama.
Jika semua pihak mengedepankan empati, layanan akan lebih manusiawi. Siapa pun, termasuk kurir di jalanan, akan merasa aman menjalankan tugasnya. Yuk, mulai dari diri sendiri untuk saling menghormati, apa pun peran kita dalam transaksi, Millens. (Siti Zumrokhatun/E05)