Inibaru.id - Kamu mungkin ikut geram mendengar berita tentang status hukuman bebas bersyarat yang diberikan kepada 23 maling negara belum lama ini. UU No 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan (PAS) yang dijadikan dasar hukum terasa melukai keadilan publik.
Pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI Hendri Satrio dalam program Hot Room Metro TV, Rabu (14/9/2022) mengatakan, keputusan menggunakan UU tersebut nggak mengacu pada perspektif kepentingan masyarakat.
"Masyarakat Indonesia sangat kesal dengan para pelaku korupsi. Namun, mereka juga nggak bisa berbuat apa-apa terhadap hukum yang ada saat ini," ungkap Hendri.
Dasar hukum pemberian program bebas bersyarat, lanjutnya, mengacu pada Pasal 10 UU PAS. Setiap narapidana, termasuk terpidana kasus korupsi, berhak menerima program bebas bersyarat apabila telah menjalani dua per tiga dari total masa hukuman dengan berkelakuan baik.
"Peraturan ini adilnya untuk siapa? Itu pertanyaannya," tegas dia. "Kalau untuk kasus korupsi, tentu pertimbangannya banyak. Menurut saya, ini tidak tepat."
Penilaian Cenderung Subjektif
Hendri menilai, konsep pemberian hukuman yang ada sekarang terhadap koruptor sama sekali belum menimbulkan efek jera. Lagipula, imbuh Hendri, petugas lapas faktanya cenderung subjekif dalam menilai kelakuan baik para maling negara. Apa indikator kelakuan baik itu?
"Penilaian kelakuan baik itu sangat subjektif. Nampak ada tebang pilih penegakan hukum dari penguasa. Pemberantasan korupsi selama ini hanya jadi lip service saja saat kampanye," ujar dia.
Perlu kamu tahu, Koordinator Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Rika Aprianti sempat menuturkan, para terpidana tipikor memiliki hak yang sama dengan narapidana lainnya. Untuk dapat program bebas bersyarat, mereka harus memenuhi ketentuan yang sudah diatur dalam UU PAS.
Rika menjelaskan, selain berkelakuan baik dan melewati dua per tiga masa tahanan, para napi wajib mengikuti pembinaan kemandirian hingga keagamaan spiritual.
"Kami punya sistem penilaian narapidana," tegasnya belum lama ini. "Tahun ini ada 58 ribu napi dari semua kasus yang dapat hak bersyarat."
Dia menambahkan, hak yang sama juga diberikan kepada Pinangki Sirna Malasari, mantan jaksa yang dipenjara karena menggasak uang negara dan terlibat pencucian uang. Menurutnya, Pinangki telah melewati dua per tiga masa tahanan dan berkelakuan baik di dalam lapas.
"Jaksa Pinangki sama hitungannya dengan narapidana lain. Dia juga memiliki hak yang sama dengan puluhan ribu narapidana yang menerima program bebas bersyarat.
Perlu Melibatkaan Pihak Luar
Agar nggak terkesan subjektif, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menuturkan, ditjen lapas perlu melibatkan pihak luar sebagai legislator untuk menilai kelakuan baik narapidana. Dengan begitu, keputusan bebas bersyarat berdasarkan kelakuan baik bisa lebih objektif.
"Perlu tim independen. Saat ini konsep KUHAP dan UU PAS tidak berdimensi korban tapi ke pelaku. Dimensi korban selalu terpinggirkan. 23 napi koruptor yg bebas bersyarat menurut saya tidak layak," ungkap Boyamin.
Ya, kabar pembebasan bersyarat para maling negara memang bikin nyesek di dada. Bagaimana nggak, mereka merugikan negara dan rakyat hingga bermiliar-miliar. Menurut kamu gimana, Millens? (Siti Khatijah/E03)
Artikel ini telah terbit di Medcom.id dengan judul Pemberian Bebas Bersyarat kepada 23 Koruptor Dinilai Mencederai Kepercayaan Publik.