Inibaru.id - Dalam hidup, ada satu nasihat orang Jawa yang tak pernah lekang oleh waktu: ojo dumeh. Kalimat sederhana ini berarti jangan sombong karena merasa lebih. Lebih berkuasa, lebih kaya, lebih pintar, atau lebih punya koneksi. Tapi di balik kesederhanaannya, tersimpan kedalaman moral yang luar biasa, pengingat bahwa kekuatan apa pun, jika tak dikendalikan, bisa menjelma menjadi kezaliman.
Bagi masyarakat Jawa, ojo dumeh bukan sekadar ungkapan etika, tapi laku batin. Ia adalah peringatan agar siapa pun yang sedang berada di posisi lebih tinggi tetap tahu diri, eling lan waspada. Kuasa seharusnya dipakai untuk ngrekso, melindungi yang lemah, bukan menindas. Dalam falsafah Jawa, ojo dumeh selalu berjalan beriringan dengan andap asor (rendah hati), tepa selira (empati), serta larangan adigang, adigung, adiguno. Sebuah nasehat untuk jangan bersandar pada kekuatan, kedudukan, atau kepintaran untuk membelokkan kebenaran.
Menariknya, jika ditarik ke horizon Islam Jawa, nilai ini berkelindan dengan konsep ‘adl (keadilan) dan larangan zulm (kezaliman). Artinya, ketika seseorang menggunakan kelebihannya untuk menindas, sejatinya ia sedang melawan tatanan ilahi tentang keadilan.
Filosofi ini juga tercermin dalam kisah klasik Arya Penangsang dalam Babad Tanah Jawi. Dikisahkan, Arya Penangsang adalah sosok yang pongah. Ia merasa paling berhak atas tahta, merasa tak terkalahkan oleh siapa pun. Tapi karena kesombongannya, ia kehilangan kendali atas laku dan budi. Ia menindas, bertindak semena-mena, dan akhirnya tumbang bukan karena kekuatan lawan, melainkan oleh keangkuhannya sendiri.
Babad Tanah Jawi membaca kejatuhan Arya Penangsang bukan sekadar tragedi politik, melainkan koreksi moral sejarah. Kuasa yang berwatak dumeh pasti akan dikembalikan ke takarannya. Karena sejatinya, kekuasaan tanpa kebijaksanaan hanya menunggu waktu untuk runtuh.
Pesan ini masih relevan, bahkan semakin penting hari ini. Di tengah dunia yang mudah membuat orang silau oleh jabatan dan popularitas, ojo dumeh hadir sebagai rem batin. Pengingat agar setiap kelebihan digunakan dengan bijak, bukan untuk menunjukkan siapa paling kuat, tapi untuk memastikan tak ada yang terinjak.
Jadi, kalau suatu saat kamu diberi kuasa, harta, atau ilmu, ingatlah pepatah lama ini. Ojo dumeh. Karena pada akhirnya, yang membuat manusia dihormati bukan seberapa tinggi ia berdiri, tapi seberapa rendah ia mau menunduk untuk tetap adil.
Kesombongan selalu menjatuhkan siapa saja. Karena itu, mari belajar menahan diri saat punya kuasa. Ingat, kekuatan sejati bukan di tangan yang menggenggam, tapi di hati yang tahu kapan harus melepas. (Siti Zumrokhatun/E05)
