Inibaru.id - Beberapa waktu terakhir, jagat maya diramaikan oleh berita tentang warga yang ribut dengan tetangganya. Ada pengusaha rental mobil di Malang yang memarkirkan mobil di depan pagar rumah orang, hingga warga di Semarang yang menutup akses jalan umum dan membuat penghuni kompleks kesulitan keluar masuk rumah. Sekilas tampak sepele, tapi dua kasus ini menyingkap hal penting yang mulai luntur dalam kehidupan masyarakat: tepo seliro.
Dalam falsafah Jawa, tepo seliro atau tepa salira dalam ejaan KBBI, bukan cuma soal sopan santun. Ia adalah ajaran hidup yang mengajarkan kita untuk memahami perasaan orang lain, menempatkan diri pada posisi mereka, dan menjaga hubungan dengan rasa hormat. Seperti yang termuat dalam Serat Wedotomo karya Gusti Mangkunegoro IV, nilai tepo seliro menjadi penuntun agar manusia bisa hidup dengan bijaksana, tahu kapan berbicara, kapan bertindak, dan kapan menahan diri.
Kalau ajaran ini benar-benar dihayati, tentu nggak akan ada cerita tentang orang yang parkir seenaknya di depan rumah orang lain, atau menutup jalan demi kepentingan pribadi. Sebab, orang yang punya tepo seliro akan berpikir, “Bagaimana kalau aku yang diperlakukan begitu?”
Sayangnya, di tengah kehidupan modern yang serba cepat dan individualistis, nilai-nilai seperti tepo seliro sering tergeser oleh ego. Orang lebih mudah menuntut haknya ketimbang menimbang perasaan orang lain. Padahal, dalam ajaran Jawa, menjaga harmoni bukan tanda kelemahan, tapi bukti kedewasaan batin.
Belajar dari tepo seliro berarti belajar menata hati, menundukkan ego agar ucapan, pikiran, rasa, dan laku tetap selaras. Hidup jadi lebih ringan, hubungan antarwarga lebih damai, dan lingkungan terasa lebih manusiawi.
Kalau saja semua orang mau berlatih sedikit tepo seliro, mungkin berita tentang “ribut dengan tetangga” bisa berubah jadi “gotong royong dengan tetangga”. Karena pada akhirnya, kunci rukun bukan sekadar aturan, tapi rasa saling memahami. Itulah hakikat tepo seliro yang sesungguhnya. Sebuah warisan leluhur yang selalu relevan, dari kampung kecil di Jawa hingga kompleks perumahan modern hari ini.
Yuk, mulai hari ini coba hidup dengan tepo seliro dengan sedikit menahan ego dan sedikit lebih memahami orang lain agar harmoni dan rasa rukun tumbuh kembali, Gez. (Siti Zumrokhatun/E05)
