Inibaru.id – Nasib malang dialami oleh para anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia yang bekerja di kapal Long Xing 629 milik Tiongkok. Menteri Luar Ngeri Retno Marsudi mengatakan, empat ABK yang bekerja di kapal itu meninggal setelah dieksploitasi berlebihan untuk bekerja di atas kapal. Yang lebih tragis, tiga jenazah di antaranya dilarung di laut.
Pemerintah Indonesia mendesak Pemerintah Tiongkok untuk menyelidiki kasus tersebut dan meminta pihak perusahaan untuk bertanggungjawab. Aparat keamanan di Korea Selatan juga ikut menyelidiki kasus tersebut.
Belakangan, lima ABK WNI yang bekerja di kapal tersebut mau berbagi pengalamannya. Salah satunya adalah BR yang mengungkap jam kerja di kapal ikan berbendera Tiongkok itu bisa lebih dari 16 jam per hari. Mereka juga hampir tidak pernah mendapatkan libur.
“Bekerja terus, buat makan (hanya dapat waktu) sekitar 10 menit dan 15 menit. Kami bekerja mulai jam 11 siang sampai jam 4 dan 5 pagi," kata BR dalam wawancara melalui video daring dari Busan, Korea Selatan pada Kamis (7/5/2020).
Rekan BR berinisial MY (20) juga mengatakan hal yang sama. MY mengaku sehari hanya bisa tidur tiga jam. Sisa waktunya kemudian digunakan untuk membanting tulang mencari ikan. Sang kapten kapal mewajibkan para ABK Indonesia memenuhi target ikan yang ditentukan dalam sehari.
Sejumlah ABK mengaku nggak menemukan jam kerja yang jelas dalam kontrak kerja. Hal ini membuat mereka nggak bisa protes. Hal inilah yang diungkap RV (27), ABK dari Ambon, Maluku. Menurut ceritanya, jam kerja baru diatur ketika kapten berada di laut.
Ada beberapa ABK yang sempat ingin menanyakan pembagian jam kerja yang lebih manusiawi, tapi hal tersebut urung dilakukan karena takut dipulangkan. Sayangnya, kerja keras ini nggak menjamin mereka mendapatkan penghasilan yang besar. Bahkan, beberapa ABK mengaku belum mendapatkan gaji.
Para ABK Indonesia juga mengaku dianaktirikan soal makanan dan minuman. NA (20), ABK yang berasal dari Makassar mengaku ABK WNI mendapatkan jatah makanan yang kurang bergizi jika dibandingkan dengan ABK dari negara lain seperti Tiongkok.
"Air minumnya, kalau dia minum air mineral, kalau kami minum air sulingan dari air laut," ungkap NA.
"Kalau makanan, mereka makan yang segar-segar," lanjut NA yang diamini KR (19) asal Manado. KR menambahkan ABK Indonesia sering makan ikan yang biasa dibuat untuk umpan.
Pengalaman yang paling pahit yakni ketika para ABK harus melarung tiga jenazah kawannya di lautan lepas. Kapten kapal menolak menyimpan jenazah di dalam ruang pendingin untuk kemudian dikubur secara layak. Alasannya, nggak ada negara di dunia yang menerima pendaratan mayat.
MY menjelaskan, prosedur pelarungan mayat tersebut sebenarnya sudah melanggar kontrak ABK. Menurut perjanjian awal, jenazah semestinya bisa dipulangkan. RV, BR, KR, MY, dan NA menyepakati agar Pemerintah Indonesia semestinya melakukan gugatan hukum pada pemilik kapal agar kejadian serupa nggak terulang lagi di masa depan.
Sungguh tragis nasib para ABK ini ya, Millens? Semoga saja ABK-ABK WNI di kapal lain nggak ada yang mengalami nasib yang serupa. (Kom/MG26/E07)
Baca Juga:
Yang Baru dari Aksi Bagi-Bagi Takjil