Inibaru.id - Narasi yang mengklaim bahwa penyakit Mpox disebabkan oleh efek samping vaksin Covif-19 tengah beredar di media sosial. Narasi tersebut juga menyebutkan bahwa Mpox terjadi akibat kerusakan sistem kekebalan tubuh yang dipicu oleh vaksin Covid-19.
Menanggapi klaim tersebut, Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH menegaskan bahwa Mpox dan Covid-19 adalah dua penyakit yang berbeda. Dia menjelaskan bahwa Mpox telah ada jauh sebelum munculnya virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 dan vaksin Covid-19.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kasus Mpox pada manusia pertama kali dilaporkan di Republik Demokratik Kongo pada tahun 1970.
"Mpox dan Covif-19 adalah dua penyakit yang berbeda. Sebelum Covid-19 muncul, Mpox sudah ada dan endemis di wilayah Afrika Barat dan Tengah, seperti Afrika Selatan, Pantai Gading, Kongo, Nigeria, dan Uganda," ujar Syahril di Jakarta, Rabu (28/8/2024).
Dia juga menjelaskan bahwa WHO sempat menetapkan Mpox sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Menjadi Perhatian Internasional (PHEIC) pada 23 Juli 2022. Namun, status ini kemudian dicabut pada 11 Mei 2023, meski pada 14 Agustus 2024, WHO kembali menyatakan Mpox sebagai PHEIC karena peningkatan kasus di Afrika Tengah dan Barat.
Dengan sejarah Mpox yang sudah ada sejak sebelum pandemi Covid-19, Syahril menegaskan bahwa penyakit ini nggak ada kaitannya dengan vaksin Covid-19.
"Mpox bukan efek samping dari vaksin Covid-19, dan tidak ada hubungannya," tegasnya.
Mpox disebabkan oleh virus Mpox (MPXV) dari genus Orthopoxvirus. Ada dua clade virus MPXV, yaitu Clade I dan Clade II. Pada wabah global 2022–2023, strain yang mendominasi adalah Clade IIb, sementara saat ini peningkatan kasus disebabkan oleh Clade Ia dan Ib.
Syahril juga menjelaskan bahwa penularan Mpox antar-manusia terjadi melalui kontak langsung, termasuk kontak fisik seperti berjabat tangan dan kontak seksual.
Sebagian besar kasus global terjadi pada Lelaki yang Berhubungan Seks dengan Lelaki (LSL), namun masyarakat di luar kelompok tersebut juga berisiko tertular, termasuk anak-anak yang memiliki kontak erat dengan seseorang yang terinfeksi.
Selain itu, penularan dapat terjadi melalui benda-benda yang terkontaminasi, seperti sprei, sarung bantal, dan handuk. Orang yang tinggal bersama pasien positif atau memiliki kontak seksual dengan banyak pasangan juga berisiko tinggi tertular virus ini.
Hm, hoaks semacam ini nggak pernah ada habisnya ya, Millens? Semoga pemerintah terus memberi sosialisasi sehingga masyarakat makin teredukasi. (Siti Zumrokhatun/E10)