Inibaru.id - Kasus pelecehan seksual masih saja menghiasi berbagai media massa. Nggak sedikit orang yang bertanya-tanya, “Kenapa korban pelecehan seksual hanya diam? Kenapa nggak langsung lapor?” Sayangnya, pertanyaan ini kerap diiringi dengan nada menyalahkan, seolah diamnya korban adalah bukti ketidakbenaran pengakuannya.
Padahal, diam bukan berarti nggak terjadi apa-apa. Diam sering kali adalah bentuk perlindungan diri, hasil dari rasa takut, trauma, dan minimnya jaminan keadilan.
Korban pelecehan seksual bukan hanya menghadapi pelaku, tapi juga lingkungan sosial yang sering kali nggak berpihak. Mereka khawatir akan dipermalukan, diragukan, bahkan dianggap “mengundang” pelecehan itu sendiri.
Dalam banyak kasus, korban justru disalahkan atas pakaian yang mereka kenakan, sikap yang dianggap terlalu ramah, atau keputusannya untuk berada di tempat tertentu.
Belum lagi tekanan dari keluarga, komunitas, atau tempat kerja yang mendorong mereka untuk menutup mulut demi menjaga nama baik. Bahkan ketika mereka berani melapor, proses hukum yang panjang dan melelahkan, serta stigma sosial yang melekat, bisa menjadi trauma kedua yang menyakitkan.
Alih-alih bertanya kenapa korban diam, cobalah bertanya: Apakah lingkungan kita cukup aman untuk membuat mereka merasa bisa bersuara?
Memahami kompleksitas ini adalah langkah awal untuk menciptakan ruang yang lebih aman dan empatik bagi para penyintas. Menghentikan pelecehan seksual bukan hanya soal menghukum pelaku, tetapi juga soal mendengarkan, mempercayai, dan melindungi korban.
Jadi, mari berhenti menghakimi mereka yang memilih diam. Karena diam mereka bukan kelemahan, tapi sering kali satu-satunya cara untuk bertahan hidup di dunia yang belum ramah bagi para korban.
Yuk, belajar berempati pada para korban tanpa menyalahkan, Millens. (Siti Zumrokhatun/E05)
