Inibaru.id – Internet dan belajar online mungkin bukanlah kendala pembelajaran jarak jauh (PJJ) di kota besar macam Jakarta. Namun, di Indonesia bagian timur, kuota internet adalah beban hidup. Maka, jangan heran kalau ada pelajar yang meminta presiden menurunkan tarif internet.
Ini terjadi di Ambon, Maluku. Keberatan dengan besarnya pengeluaran beli kuota untuk PJJ setiap bulannya, seorang siswa Kelas Xl SMA Siwalima Ambon, Wilda Mustika, meminta Presiden RI Joko Widodo, untuk menurunkan tarif internet.
”Pak Presiden, tolong bantu kami di Maluku. Paket internet sangat mahal. Banyak teman kami tidak bisa belajar dengan baik. Tolong kami, Bapak Presiden!” kata Wilda, dikutip dari Kompas, Selasa (25/8/2020).
Menurut gadis 15 tahun tersebut, para siswa di Ambon rata-rata harus menghabiskan Rp 200 ribu per bulan untuk mebeli paket internet sebagai penunjang proses PJJ.
“Saya bisa habiskan pulsa data untuk 55 GB dengan harga Rp 200 ribu. Kami belajar setiap hari, dari Senin-Sabtu, mulai pukul 08.00 hingga 13.00,” kata dia.
Wilda menambahkan, dalam proses PJJ, ada sejumlah aplikasi yang cukup menyedot kuota internet. Ini sangat menyulitkan mereka, khususnya yang berasal dari kalangan kurang mampu. Dampaknya, banyak siswa di Ambon tertinggal sejumlah materi pelajaran.
Keberatan yang dialami Wilda dkk, salah satunya karena jaringan internet di Maluku didominasi Telkomsel, yang dianggap cukup mahal. Nah, karena operator tersebut merupakan bagian dari badan usaha milik negara, Wilda berpikir presiden punya kewenangan meminta Telkomsel menurunkan tarif.
Nada sumbang terkait jaringan dan biaya internet yang mahal memang bukan kali ini saja terdengar. Masyarakat Maluku mungkin telah mengeluhkannya sejak lama. Namun, ini kian membebani lantaran kondisi ekonomi masyarakat kian memburuk saat ini.
”Beli beras saja susah, apalagi beli paket internet. Tambah susah,” ujar Nia Palijama, orang tua seorang siswa di Ambon.
Terkait PJJ, SMA Negeri 5 Kota Ambon pernah melakukan survei, yang hasilnya, 52 persen siswa nggak bermasalah dengan belajar online. Sementara, 46 persen murid memiliki telepon genggam tapi sulit dapat akses internet, sedangkan dua persen nggak punya ponsel.
Ehm, saat-saat seperti ini, Sila ke-5 Pancasila agaknya terdengar begitu sayup ya, Millens. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sudahkah? Entah siapa yang harus menjawabnya! (Kom/MG32/E03)