Inibaru.id – Stadion
Diponegoro memang nggak memiliki catatan sejarah secara pasti. Namun hal-hal
besar yang terjadi di sana sudah menjadi kisah tersendiri. Namun yang bikin sedih, stadion ini justru lebih dikenal sebagai penyelenggaraan konser.
Saya bisa memaklumi itu setelah melihat sendiri. Stadion ini hanya terlihat seperti bangunan tua dengan tribun lapuk dan berkarat, belum lagi velodrome yang telah retak serta ditumbuhi rerumputan. Kondisi lapangan sepak bola juga sudah nggak layak. Menyedihkan memang, tapi melegakan rasanya melihat para pegiat olahraga tetap beraktivitas di stadion tersebut.
Setahu saya ada 3 cabang olahraga yang masih memakai stadion ini; sepak bola, atletik dan juga klub pembinaan balap sepeda usia dini yakni, Velodrome Diponegoro Cycling Club (VDCC). Sebagai tempat yang konon pernah menjadi stadion terbaik di Indonesia bahkan se-Asia Tenggara, Stadion Diponegoro sebenarnya memiliki sejumlah fasilitas mumpuni.
Buat kamu yang belum tahu, stadion yang sekira dibangun pada 1934 ini mempunyai ruang ganti dan kamar mandi, velodrome yang berkelas internasional, empat tower lampu dengan kekuatan 3.200 watt, tribun dengan kapasitas 1.000 penonton, dan (dulu) kolam renang di depannya. Kamu mungkin bertanya-tanya di mana kolam renangnya. Yaps, sekarang kolam renang peninggalan Belanda tersebut sudah diubah menjadi pujasera.
Soal tower, Maryono, pemain PSIS era 1972 mengungkapkan sejarahnya. Katanya, tower lampu Stadion Diponegoro merupakan pemberian dari Wali Kota Semarang pada 1974 yaitu Kolonel Hadijanto.
“Dulu ada turnamen namanya Tugu Muda Cup. Itu penyelenggaraan yang pertama. Pak Hadijanto memberi lampu untuk Stadion Diponegoro. Di tahun itu pula saya mengantar PSIS promosi ke Divisi Utama,” ujar Maryono, Minggu (22/12) saat ditemui di Lapangan Sekaran Unnes.
Sementara bagi klub sepeda, velodrome Stadion Diponegoro memiliki makna penting sekaligus tempat berlatih yang harus disyukuri. Pasalnya Ikatan Ikatan Sport Sepeda Indonesia (ISSI) didirikan di sini. Mustofa Zamrud, pengurus ISSI Kota Semarang membeberkan banyak hal terkait velodrome tersebut.
“Karena ini merupakan velodrome yang pertama di Indonesia, maka ISSI dibentuk di sini pada tahun 1951. Kemudian pada tahun 1989 sempat direnov karena digunakan untuk penyelenggaraan kejuaraan nasional Piala Siwo,” ungkap Mustofa Zamrud, Minggu pagi saat memantau VDCC berlatih.
Mustofa mewakili kalangan pegiat sepeda lainnya bersyukur memiliki velodrome. Pasalnya adanya kerumitan hak milik membuat mereka nggak bisa bergerak untuk memohon perbaikan. Bagian-bagian velodrome yang rusak sejauh ini cuma ditambal-sulam dengan swadana anggota.
“Stadion ini kan bukan milik Pemkot namun Kodam Diponegoro/IV, jadi yang nggak bisa semena-mena. Menurut saya Kodam memang nggak ada anggaran untuk memperbaiki ini, soalnya olahraga bukan fokus utama, jadi imbasnya ya adanya konser-konser itu sebagai pemasukan. Velodrome jadi rusak karena dilalui mobil. Padahal harusnya nggak boleh. Untungnya bangunan ini adalah Cagar Budaya, kalau enggak mungkin nasibnya sudah seperti kolam renang yang di depan itu,” pungkasnya.
Mustofa nggak berharap banyak dari pembangunan Stadion Diponegoro, namun lebih memilih menanti hadirnya velodrome baru di Sirkuit Mijen yang sedang dalam tahap pembangunan.
Jadi seperti itulah keadaan Stadion Diponegoro yang punya sejarah panjang itu. Kamu lebih kenal Stadion ini sebagai tempat olahraga atau penyelenggaraan konser, Millens? (Audrian F/E05)