Inibaru.id – Sepulang dari liburan di Korea Selatan pada musim sakura kemarin, Yuna Rahmawati menceritakan sejumlah pengalamannya di Negeri Ginseng. Salah satu yang bikin dia tergelitik adalah soal pendapatan orang Korea yang berkali-kali lipat jika dibandingkan dengan pendapatan orang Indonesia.
Dia mengetahui hal tersebut karena kebetulan bertemu teman kuliahnya yang kini tinggal dan bekerja di Kota Busan. Dari obrolan singkat itu, dia menyadari ketimpangan pendapatan ini.
“Kalau dibandingkan dengan UMR dua jutaan rupiah, misalnya, pekerja-pekerja di Korea bisa mendapatkan 10 kali lebih banyak. Padahal, menurut cerita teman saya biaya hidup di Korea hanya tiga atau empat kali lebih mahal dari Indonesia. Makanya di sana dia bisa mengirim uang untuk orang tuanya dan masih bisa menabung banyak. Dia bahkan bisa liburan ke negara-negara lain dengan mudah,” cerita Yuna yang mengungkapkan bahwa perjalanan ke Korea ini adalah pengalaman perdananya traveling ke luar negeri ini, pada Rabu (14/5/2025).
Makanya, pas Bank Dunia mengeluarkan data Macro Poverty Index pada April 2025 dengan acuan garis kemiskinan di angka 6,85 dolar AS (sekitar Rp113 ribuan) per kapita per hari untuk negara dengan pendapatan menengah ke atas, Yuna bisa memahaminya. Dia merasa acuan garis kemiskinan yang diterapkan di Indonesia terlalu rendah.
Asal kamu tahu, per September 2024 lalu, BPS mencatat garis kemiskinan per kapita nasional ada di angka Rp595.242 per bulan. Nah, perbedaan inilah yang bikin BPS menyebut jumlah orang miskin di Indonesia ada di angka 24,06 juta orang alias 8,57 persen dari total populasi, sementara Bank Dunia dengan acuan garis kemiskinannya menyebut ada lebih dari 171 juta orang Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan alias sekitar 60,3 persen dari total populasi.
“BPS tentu punya data dan pertimbangannya sendiri sampai menentukan angka tersebut. Tapi pas tahu garis kemiskinannya serendah itu, kalau di Korea artinya hanya 50 ribuan won per bulan. Masa iya kalau menghabiskan uang lebih banyak dari itu per bulan sudah dianggap nggak miskin?” ungkap Yuna penuh tanya.
Dia pun jadi nggak lagi heran saat Bank Dunia mengeluarkan data lain yang menyebutkan bahwa dengan persentase kemiskinan sampai 60,3 persen, Indonesia masuk 5 besar negara dengan persentase penduduk miskin terbanyak per data 2024 lalu.
Indonesia hanya bernasib lebih baik dari Afrika Selatan (63,4 persen) dan Namibia (62,5 persen), serta sama dengan Botswana (60,3 persen). Sementara, posisi di atas Indonesia adalah Guatemala (57,3 persen).
“Memang sih, kalau kemudian acuannya adalah garis kemiskinan Bank Dunia, nantinya malah UMR bulanan di banyak daerah jadi lebih rendah dari itu. Tapi, menurut saya, seharusnya data ini jadi cambuk bagi pemerintah kalau ternyata sebagian besar warga Indonesia memang masih struggling. Boro-boro bisa piknik, kayaknya banyak dari kita yang nabung saja kesulitan kan meski sudah punya pekerjaan tetap?” saran Yuna.
Hm, yang namanya data yang dikeluarkan memang pasti ada dasar dan acuannya. Tapi, apa yang dikeluhkan Yuna ada benarnya. Semoga saja pemerintah bisa mengatasi hal ini dan jumlah orang miskin di Indonesia bisa semakin berkurang. Setuju, Millens? (Arie Widodo/E10)
