Inibaru.id - Cuaca yang nggak menentu membuat Achmad Fachrizal, petani asal Kabupaten Batang merasa waswas. Prediksinya, setelah padi ditanam bulan lalu, seharusnya air di sawahnya sudah mulai surut karena saat ini mulai musim kemarau.
"Kalau air nggak segera surut, padi yang saya tanam pasti bakal habis dimakan keong, terutama di sisi utara yang lebih rendah," keluhnya, Jumat (16/5/2025). "Pas musim penghujan, sawah bagian itu memang nggak bisa ditanami karena debet airnya terlalu tinggi. Ternyata sampai sekarang masih terendam air."
Dia merasa, meski sudah musim kemarau, hujan di tempatnya memang masih sering turun. Di satu sisi, lelaki yang akrab disapa Fachri itu merasa senang karena nggak harus berebut air dengan petani lain, tapi di sisi lain dia juga sedih karena potensi keuntungan dari hasil panen tahun ini kemungkinan akan tereduksi.
"Bagian yang terendam air itu mencapai sepertiga. Kalau ditanami semua, hasilnya lumayan. Namun, sepertinya kali ini saya harus legawa dengan padi yang tersisa. Yang penting nggak rusak semua atau terserang hama saja saya sudah bersyukur," akunya.
Musim Kemarau Basah
Meski secara kalender Indonesia sudah memasuki musim kemarau, beberapa wilayah di negeri ini memang masih sering diguyur hujan, termasuk Kabupaten Batang. Nggak hanya Fachrizal, banyak orang juga mengeluhkan "prediksi yang meleset" tersebut di media sosial.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), fenomena ini muncul bukan tanpa sebab. Mereka mengatakan, Indonesia sedang mengalami kemarau basah. Sekitar April lalu BMKG juga sempat memprediksi kemungkinan ini dan meminta masyarakat, khususnya petani, untuk bersiap.
Pertanyaannya, apa itu kemarau basah? Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto menyebut, kemarau basah merupakan situasi ketika sudah memasuki musim kemarau yang identik dengan cuaca panas dan langit cerah, tapi masih sering turun hujan dengan intensitas yang cukup signifikan.
"Pada fenomena kemarau basah, kelembapan udara tetap tinggi, sehingga hujan masih sering turun," tuturnya, Rabu (14/5/2025). “Ini merupakan situasi tidak biasa yang bisa muncul karena sejumlah faktor, termasuk perubahan iklim dan pola cuaca yang tidak stabil.”
Terjadi di Sejumlah Wilayah
Guswanto menambahkan, BMKG mencatat beberapa dinamika atmosfer yang menyebabkan kemarau basah tahun ini; termasuk di dalamnya adalah adanya sirkulasi siklonik di wilayah Indonesia, fenomena Madden-Julian Oscillation (MJO), dan gelombang atmosfer seperti Kelvin, Rossby Ekuator, dan Low Frequency.
"Kondisi ini membuat awan hujan tetap terbentuk dan mengakibatkan turunnya hujan di sejumlah wilayah kendati sudah memasuki musim kemarau," terangnya.
Dia mengungkapkan, fenomena kemarau basah ini terjadi secara parsial. Artinya nggak seluruh wilayah Indonesia mengalaminya. Menurutnya, yang paling terdampak adalah daerah dengan pola hujan monsunal seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
"Wilayah dengan pola hujan monsunal memiliki dua musim yang sangat jelas, yakni penghujan dan kemarau; dengan satu puncak hujan dan kemarau (unimodal). Tapi tahun ini pola itu terganggu oleh turunnya hujan pada musim kemarau," paparnya.
Hingga Agustus 2025
BMKG memprediksi, fenomena kemarau basah ini akan berlangsung sekurangnya hingga Agustus mendatang. Setelahnya, Indonesia akan memasuki masa pancaroba sekitar September-November, sebelum kembali memasuki musim penghujan pada Desember 2025 hingga Februari 2026.
Dikutip dari laman resmi BMKG, kemarau basah bisa berdampak pada terganggunya pola tanam lantaran para petani di Indonesia umumnya masih mengandalkan prediksi musim untuk menanam dan panen. Kondisi ini juga rawan menyebabkan banjir di wilayah yang nggak terbiasa menerima hujan pada musim kemarau.
Di sisi lain, kondisi lingkungan juga bisa terpengaruh, termasuk potensi banjir di wilayah yang tidak siap menerima curah hujan saat musim kemarau. Karena itulah BMKG mengimbau masyarakat untuk waspada dan menyesuaikan aktivitas dengan cuaca yang nggak menentu ini.
Kabar baiknya, kemarau basah membuat orang-orang yang tinggal di wilayah yang biasanya mengalami kekurangan air atau kekeringan bisa bernapas lega. Namun, harus tetap waspada ya, Millens! Semoga potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor nggak menimpa kita, ya! (Siti Khatijah/E07)
