Inibaru.id – Ribuan anak sakit, dapur bermasalah, hingga temuan bakteri berbahaya. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang semula dimaksudkan untuk menyehatkan, kini justru memunculkan keresahan. Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) pun angkat suara, mendesak pemerintah menghentikan sementara pelaksanaan program ini.
Sejak awal 2025, FKBI mencatat lebih dari 4.000 siswa mengalami gejala keracunan. Beberapa sampel makanan bahkan terbukti terkontaminasi bakteri E. coli. Situasi ini, menurut FKBI, bukan sekadar persoalan teknis, melainkan bukti adanya kegagalan sistemik dalam perlindungan konsumen anak.
“Permintaan maaf pemerintah melalui Mensesneg Prasetyo Hadi pada 19 September lalu memang langkah baik. Tapi, itu jelas tidak cukup. Anak-anak butuh perlindungan nyata, bukan sekadar kata maaf,” tegas FKBI dalam keterangan resminya, Senin (22/9/2025).
Dapur nggak Layak, Data Vendor Misterius
Hasil temuan FKBI di lapangan cukup mencengangkan. Beberapa dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) disebut nggak memenuhi standar kebersihan. Ada dapur yang menyiapkan makanan langsung di lantai, tanpa pelindung dari serangga, bahkan distribusinya terlambat hingga berjam-jam.
Lebih parah lagi, publik nggak bisa mengakses data vendor MBG, audit dapur, maupun uji laboratorium makanan. FKBI bahkan mengungkap adanya dugaan ribuan dapur fiktif dalam sistem ini.
“Kalau begini, wajar jika keamanan pangan anak-anak jadi taruhannya,” ujar salah satu perwakilan FKBI.
Hak Dasar Anak Terabaikan
FKBI menilai kasus ini juga menyangkut pelanggaran hak konsumen anak.
Sebagai kelompok rentan, anak-anak seharusnya mendapatkan jaminan keamanan, informasi yang jelas, serta kompensasi jika terdampak. Sayangnya, hingga kini belum ada skema ganti rugi atau dukungan psikososial yang ditawarkan bagi korban dan keluarga.
Lima Tuntutan FKBI
Agar tragedi serupa tak berulang, FKBI meminta pemerintah mengambil langkah serius. Beberapa tuntutan yang mereka ajukan antara lain:
1. Audit publik vendor MBG dan publikasikan hasilnya secara transparan.
2. Skema ganti rugi bagi korban yang mencakup dukungan medis, psikologis, dan hukum.
3. Reformasi tata kelola MBG dengan melibatkan sekolah, orang tua, dan lembaga perlindungan anak.
4. Penerapan sistem pelaporan komunitas serta early warning system agar insiden cepat terdeteksi.
5. Penyusunan SOP distribusi terbuka dan partisipatif, termasuk opsi desentralisasi lewat kantin sekolah atau dana langsung ke orang tua.
Dalam siaran pers tertulisnya, FKBI menegaskan nih Gez, tragedi keracunan ribuan anak penerima manfaat MBG seharusnya jadi alarm keras bagi pemerintah. Jika program benar-benar ingin menyehatkan generasi muda, perbaikan tata kelola nggak bisa ditunda lagi. (Siti Zumrokhatun/E05)
