Inibaru.id – Kamu pernah nggak, merasa lapar mata saat beli makan, lalu akhirnya makanan itu nggak habis dan terbuang? Nah, kebiasaan semacam inilah yang ternyata berkontribusi besar terhadap penumpukan sampah makanan di Jawa Tengah. Bukan cuma sekadar buang-buang nasi, tapi juga menyumbang masalah lingkungan yang makin pelik.
Data yang diungkap Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2023 dan 2024 menunjukkan bahwa sampah makanan adalah jenis limbah terbanyak yang ditemukan di hampir seluruh kabupaten/kota di Jawa Tengah. Bahkan, di beberapa daerah seperti Sragen dan Semarang, persentasenya mencapai lebih dari 70 persen dari total sampah yang dihasilkan. Gila, kan?
Banyak yang Terbuang, Padahal Masih Layak
Kalau dikalkulasi, secara nasional orang Indonesia membuang sekitar 23 hingga 48 juta ton makanan setiap tahun. Angka yang fantastis ini sebenarnya cukup untuk memberi makan separuh lebih penduduk Indonesia!
Masalah ini bukan cuma soal konsumsi berlebih, tapi juga minimnya kesadaran soal food waste. Laporan Food Loss and Waste Regional Study yang diungkap Espos pada Selasa (19/8/2025) menyebut sumber utama limbah makanan justru datang dari rumah tangga, restoran, dan pasar. Artinya, kita semua turut andil dalam krisis ini.
Di Jawa Tengah sendiri, Kabupaten Sragen menjadi penyumbang sampah makanan tertinggi selama dua tahun berturut-turut, yakni 74,30 persen dari total limbah di wilayah tersebut. Disusul oleh Kota Semarang, Wonosobo, Karanganyar, dan Kota Magelang.
Kondisi ini cukup memprihatinkan, mengingat sebagian besar dari sampah itu berasal dari makanan sisa konsumsi yang sebenarnya masih bisa diminimalisasi.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Jateng Widi Hartanto bahkan menyebutkan bahwa sekitar 37 persen sampah di provinsi ini masih dibuang ke lingkungan tanpa diolah. Padahal, menurutnya, limbah ini punya nilai ekonomi, apalagi kalau dipilah dan dikelola dengan prinsip ekonomi sirkular.
Sayangnya, kebiasaan memilah sampah masih belum membudaya. Pengomposan dan budidaya maggot black soldier fly memang sudah dilakukan di beberapa titik, tapi jumlahnya masih sangat minim dan jauh dari cukup. Padahal, langkah sederhana seperti memisahkan sampah organik dan anorganik di rumah sudah bisa bikin perubahan besar.
“Sayangnya, 37 persen sampah ada yang dibakar, ditimbun di pekarangan, alias terbuang ke lingkungan saja. Perlu usaha yang lebih demi menangani masalah sampah ini hingga ke desa-desa,” ungkap Widi.
Saatnya Ubah Cara Pandang
Sampah makanan bukan sekadar sisa makanan. Itu adalah cermin pola konsumsi kita. Pola yang sayangnya masih menunjukkan kalau kita memang boros dan belum sadar lingkungan.
Langkah pemerintah seperti mendorong pengelolaan sampah skala regional dan produksi bahan bakar dari limbah (RDF) tentu patut diapresiasi. Tapi, semua itu nggak akan berhasil kalau kita sendiri nggak mau berubah.
Makanya, ada baiknya kita mulai dari dapur sendiri, Gez!. Yuk coba biasakan masak secukupnya, simpan makanan dengan benar, dan habiskan apa yang sudah diambil. Karena setiap butir nasi yang dibuang, adalah rejeki yang disia-siakan, sekaligus jadi beban baru untuk bumi kita. (Arie Widodo/E07)
