Inibaru.id – Sebagaimana kota-kota besar di Indonesia, Semarang juga kini disesaki dengan armada ojek daring. Para pengemudi ojek ini dianggap sebagai solusi bagi masyarakat yang ingin pergi ke manapun dengan praktis. Nah, keberadaan ojek daring ini dianggap sebagai awal dari semakin berkurangnya angkutan kota (angkot) Semarang.
Sebenarnya, ojek daring nggak jadi satu-satunya penyebab semakin menurunnya minat masyarakat Kota Semarang terhadap angkot. Keberadaan Trans Semarang, bus yang memiliki banyak koridor rute di Kota Atlas ini dianggap sebagai salah satu transportasi modern yang berhasil memenuhi kebutuhan masyarakat. Apalagi, tiket Trans Semarang murah dan mampu menjangkau berbagai ujung kota.
Saking bagusnya pengelolaan Trans Semarang, Kementerian Perhubungan bahkan sampai membuat Kota Semarang sebagai percontohan dalam hal pengembangan Bus Rapid Transit (BRT) di Tanah Air.
“Angka pengguna Trans Semarang sangat besar dibandingkan kota lain yang juga memiliki BRT,” ungkap Kepala Badan Layanan (BLU) Trans Semarang Ade Bhakti Ariawan, Selasa (8/10/2019).
Sayangnya, kesuksesan Trans Semarang nggak berdampak positif pada nasib para sopir dan pemilik angkot. Bahkan, banyak yang merugi hingga akhirnya memilih untuk nggak lagi menjalankan angkotnya. Salah satunya adalah Darno, warga Kecamatan Ngaliyan yang sebenarnya memiliki dua angkot.
“Nggak ada penumpang, jadi selalu rugi. Sudah dua tahun ini kondisi parah seperti ini,” ucap laki-laki berusia 54 tahun ini pada Senin (28/2/2022).
Efek dari pandemi Covid-19 yang membuat banyak warga Kota Semarang nggak banyak beraktivitas di luar rumah juga ikut membuat bisnis angkotnya semakin merana. Padahal, sebelum pandemi, setidaknya angkotnya ada yang menyewa. Kini, dia bahkan sudah terpikir untuk menjual kendaraan yang selama ini jadi penopang ekonomi keluarganya.
Jumlah Angkot Semarang Berkurang Drastis
Ketua DPC Organda Kota Semarang Bambang Pranoto Purnomo membenarkan kalau jumlah angkot di Kota Semarang semakin menurun. Jumlahnya bahkan berkurang sampai separuh dalam dua tahun terakhir.
“Sebelum pandemi di Kota Semarang ada 2.300 angkot, sekarang tinggal 1.200 saja,” ungkap Bambang, Senin (28/2).
Dia pun prihatin dengan nasib para sopir angkot di Kota Semarang yang semakin merana. Agar mereka tetap bisa mendapatkan penghasilan, Bambang pun menyarankan Pemkot Semarang untuk menjadikan sopir atau pemilik angkot dilibatkan dalam program transportasi massal. Misalnya, mereka bisa dijadikan sub feeder bagi Trans Semarang.
Ide ini sebenarnya sudah sampai ke Komisi C DPRD Kota Semarang. Para wakil rakyat ini pun berjanji akan mengkaji ide ini demi membantu nasib para sopir dan pemilik angkot.
Wah, jumlah angkot Semarang ternyata tinggal sedikit, ya Millens. Omong-omong, kamu masih sering naik angkutan umum ini nggak, nih? (Kom, Sua/IB09/E05)