Inibaru.id - Erupsi Gunung Semeru pada Sabtu (4/12/2021) menyisakan duka mendalam bagi banyak orang. Nggak hanya memicu kerusakan parah dan tertimbunnya banyak rumah, setidaknya 14 orang sudah dipastikan meninggal. Yang ironis, dua korban yang ditemukan di Dusun Curah Kobokan, Desa Supit Urang, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang, yang merupakan ibu dan anak berada dalam kondisi berpelukan.
Hinga Minggu (5/12) sore, relawan yang berusaha mencari korban yang tertimbun material vulkanik mengaku kesulitan untuk melakukan evakuasi. Nggak hanya jumlah material yang sangat luar biasa banyaknya, material itu sebenarnya masih dalam kondisi panas.
Catatan erupsi Semeru sudah bisa dirunut sejak 1818 lalu. Sejak saat itu, gunung tertinggi di Pulau Jawa ini sudah ratusan kali mengalami erupsi. Letusan Gunung Semeru juga nggak bisa ditebak. Nggak semuanya adalah letusan tunggal atau sekali meletus lalu berhenti. Terkadang, erupsi bisa berlangsung berurutan terus-menerus.
Sebenarnya, menurut pakar, erupsi yang terjadi pada Sabtu (4/12) lalu masih masuk dalam rangkaian erupsi yang dimulai pada 1 April 2014. Namun, frekuensinya yang memang nggak sering membuat orang seakan-akan nggak menyadari kalau Semeru seperti baru mengalami erupsi hebat.
Berdasarkan data dari Volcanic Explosity Index (VEI), letusan Semeru pada Sabtu lalu masuk dalam skala 3 dari angka 0-8. Artinya, daya ledak dan volume material yang disemburkan gunung ini cukup besar. Angkanya setara dengan erupsi Gunung Merapi saat periode 11 Mei 2018 sampai 21 Juni 2020, Millens.
Kalau dibandingkan dengan Gunung Sinabung yang erupsi pada periode 15 September 2013 sampai 30 Agustus 2018, masih lebih rendah. Angka VEI erupsi gunung di Sumatera Utara itu ada di angka 4.
Satu hal yang pasti, Gunung Semeru masih berada di Level 2 atau Waspada. Hal ini diungkap oleh Kementerian ESDM. Meski begitu, aktivitas kegempaan gunung ini yang dipengaruhi aktivitas vulkanik di dalamnya masih belum menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Pakar vulkanologi senior Surono menyebut erupsi gunung, termasuk yang terjadi di Semeru nggak pernah bisa dipastikan kapan terjadi. Jadi, kalau ada yang bilang bisa diprediksi sehingga warga bisa diminta pergi sebelumnya, kurang tepat. Meski begitu, tanda-tanda erupsi memang bisa diamati dan dijadikan patokan.
Caranya, tentu saja dengan pengamatan secara rutin dan berkala oleh Otoritas Kegunungapian. Pengamatan ini bisa menghasilkan laporan terkait gempa letusan, guguran, hembusan, hingga saran radius aman bagi warga sekitar.
Selain itu, masyarakat sekitar juga harus mendapatkan edukasi terkait dengan tanda-tanda erupsi, pemahaman terkait dengan kondisi gunung, hingga cara atau jalur evakuasi jika kemudian terjadi erupsi.
Kamu tahu sendiri kan, kemarin di media sosial viral video-video orang yang seperti memilih untuk merekam orang yang ingin melihat lahar atau awan panas dari dekat. Padahal, seharusnya segera menyelamatkan diri.
Apapun itu, turut berduka atas erupsi Gunung Semeru kemarin ya, Millens. Mengingat kita tinggal di negara rawan bencana, khususnya erupsi dan gempa yang bisa menerjang kapan saja, selalu siapkan mitigasi ya agar bisa selamat. (Kom/IB09/E05)