Inibaru.id - Mungkin suatu hari nanti, lagu “Fireflies” dari Owl City akan jadi satu-satunya cara kita mengenang kunang-kunang. Serangga kecil yang dulu kerap menari di antara semak dan sawah waktu senja kini kian sulit dijumpai. Kekhawatiran ini bukan isapan jempol. Para peneliti dan ilmuwan di berbagai negara sudah mengonfirmasi penurunan drastis populasi kunang-kunang secara global.
Raphaël De Cock, seorang peneliti kunang-kunang yang mendedikasikan disertasi doktoralnya untuk serangga bercahaya ini, menyebut kenangan masa kecilnya melihat kunang-kunang kini hanya tinggal nostalgia. Banyak orang merasakan hal serupa: kunang-kunang tak lagi semeriah dulu. Data terbaru menunjukkan lebih dari sepertiga spesies kunang-kunang terancam punah akibat hilangnya habitat, polusi cahaya, pestisida, hingga perubahan iklim.
Serangga menakjubkan ini termasuk keluarga Lampyridae yang mencakup lebih dari 2.000 spesies. Mereka menghasilkan cahaya bioluminesen memikat yang semula berfungsi sebagai mekanisme pertahanan. Larva kunang-kunang sengaja memancarkan sinyal agar predator tahu mereka nggak enak dimakan. Namun seiring evolusi, cahaya itu berubah fungsi menjadi “bahasa cinta”—sinyal kawin yang unik. Bahkan, betina dewasa genus Photuris mampu meniru pola kilatan jantan Photinus untuk memikat lalu memangsanya. Sebagian spesies bersinar hanya saat masih larva, sebagian lain bercahaya hingga dewasa. Letak organ cahayanya pun berbeda-beda tergantung spesies.
Sayangnya, pesona kunang-kunang kian redup di bawah lampu jalan yang terus menyala semalaman. Reuters melaporkan bahwa polusi cahaya artifisial mengacaukan ritme kawin kunang-kunang sehingga gagal bereproduksi. Belum lagi penggunaan insektisida yang merusak larva di tanah. Bisa dikatakan, kepunahan kunang-kunang adalah alarm serius hilangnya keanekaragaman hayati!
Bagi generasi milenial yang tumbuh dengan gawai, barangkali kunang-kunang terasa asing. Padahal, keberadaan mereka adalah pertanda ekosistem sehat. Menjaga habitat alami, mengurangi pestisida, dan memadamkan lampu taman saat malam bisa jadi langkah sederhana untuk menyelamatkan makhluk mungil yang bercahaya ini.
Kalau kita nggak bergerak sekarang, bisa jadi suatu saat nanti anak cucu hanya mengenal kunang-kunang dari video YouTube atau sekadar lirik lagu lama yang menyesakkan rindu.
Gimana, apa di tempatmu masih banyak kunang-kunang, Millens? (Siti Zumrokhatun/E05)