Inibaru.id - Hampir setiap malam Rina Hastuti harus menanyakan hal yang sama kepada anaknya yang tahun ini masuk SMP, “Kapan kamu akan berhenti pegang ponsel dan tidur?” Jawaban yang diterima pun hampir selalu sama, yakni sekadar kata "ya" pendek atau anggukan kepala.
Sejak diberi ponsel sendiri awal tahun ini, putri semata wayangnya ini memang seperti nggak pernah lepas dari layar gawai. Semula, Rina berpikir bahwa hal tersebut hanyalah bagian dari kebiasaan generasi sekarang yang menghabiskan waktu cukup lama dengan hapenya.
"Namun, belakangan aku sadar bahwa ini bukan cuma tentang intensitas bermain ponselnya yang meningkat, tapi sudah masuk tahap kecanduan," keluhnya, Rabu (2/7/2025). "Dia bisa sangat gelisah saat ponselnya tertinggal, bahkan tantrum ketika kehabisan kuota atau akses wifi di rumah dibatasi."
Melihat situasi tersebut, Rina mengaku khawatir karena anaknya seakan nggak bisa hidup tanpa ponsel lagi. Dia bisa paham saat ponsel suaminya tertinggal lalu meminta dirinya mengirimkan "alat tempur"-nya itu ke kantor karena faktor kebutuhan; tapi untuk anak 12 tahun, gelisah tanpa ponsel adalah sebuah kesalahan.
"Jadi, sekarang yang kupikirkan adalah bukan membatasi screen time anak lagi, tapi gimana cara membuat dia baik-baik saja tanpa ponselnya," tutur perempuan yang akhirnya mengakui bahwa memberikan ponsel untuk anak adalah sebuah kesalahan besar ini.
Adiksi Layar Lebih dari Sekadar Durasi
Selama bertahun-tahun, kita terbiasa mendengar saran dari ahli kesehatan yang mengatakan bahwa paparan layar yang terlalu lama buruk untuk kesehatan. Ini bukan pernyataan yang keliru, tapi ternyata ada yang lebih menakutkan dari itu, yakni perilaku kompulsif terhadapnya.
Sebuah riset membuktikan bahwa yang lebih mengkhawatirkan dari durasi screen time saat anak diperbolehkan memegang hape adalah perilaku kompulsif; yang muncul ketika dia merasa sulit berhenti menggunakan gawai, gelisah jika nggak memegangnya, atau mengabaikan dunia nyata karenanya.
Riset yang dipublikasikan di jurnal JAMA Pediatrics tersebut melacak lebih dari 4.200 anak usia 9–11 tahun selama empat tahun. Hasilnya mencengangkan: Hampir 50 persen anak menunjukkan tanda adiksi pada ponsel, 38 persen kecanduan gim, dan 33 persen nggak bisa lepas dari media sosial.
Lebih dari sekadar intensitas bermain yang tinggi, adiksi ini bahkan membuat mereka kehilangan kendali. Ciri-cirinya, mereka nggak bisa berhenti menatap layar meski tahu bahwa yang dilakukannya salah. Mereka bahkan lebih memilih layar dibandingkan tidur, makan, bahkan mengobrol dengan keluarga.
Gangguan Kecemasan hingga Depresi
Riset yang sama menunjukkan bahwa anak-anak yang menunjukkan gejala adiksi layar ini berisiko dua sampai tiga kali lipat lebih besar mengalami gangguan mental, termasuk di dalamnya gangguan kecemasan, depresi, bahkan berpikir untuk menyakiti diri sendiri atau bunuh diri.
Hal tersebut sejalan dengan penjelasan psikiater anak dan remaja Dr Zishan Khan yang mengatakan bahwa anak yang kecanduan perangkat akan memiliki risiko jauh lebih tinggi untuk bunuh diri.
“Anak-anak yang terlihat kecanduan gawai jauh lebih mungkin berpikir untuk menyakiti diri sendiri, bahkan memiliki perilaku bunuh diri,” tuturnya sebagaimana dikutip dari Parents, Juni 2025.
Hal serupa juga diungkapkan Dr Amy Orben dari University of Cambridge saat berbicara kepada The Times pada 2024 lalu. Dia memaparkan bahwa anak yang menggunakan teknologi secara kompulsif (berulang), terutama untuk melarikan diri dari masalah, lebih rentan mengalami gangguan mental di kemudian hari.
Screen Time vs Screen Compulsion
Selama ini, banyak orang tua hanya fokus pada berapa jam anak bermain ponsel. Padahal, menurut riset terbaru, jumlah jam bukanlah penentu utama risiko kesehatan mental; karena kata kuncinya adalah ketergantungan emosional dan kehilangan kontrol.
Coba bandingkan anak yang menonton film selama empat jam tapi masih aktif berinteraksi dan cukup tidur; dengan anak yang hanya bermain gim satu jam sehari tapi sulit diajak bicara, selalu menjadi panik, atau gelisah saat diminta berhenti. Mana yang lebih baik?
Maka, buat para orang tua, waspadalah jika anak mengalami hal-hal berikut ini
- Marah atau cemas saat diminta berhenti bermain ponsel;
- Terlihat selalu ingin dekat dengan layar, bahkan saat makan atau belajar;
- Menarik diri dari kegiatan lain yang dulu disukai; dan
- Mengalami kesulitan tidur, susah fokus, dan perubahan mood secara mendadak.
Menyiapkan Langkah Antisipasi
Daripada sekadar melarang atau menghitung durasi screen time anak, para ahli menyarankan untuk melibatkan anak dalam percakapan soal pola penggunaan gawai. Ajukan pertanyaan seperti: Kenapa terus bermain gim itu, gimana rasanya kalau nggak bisa buka TikTok, atau apa yang kamu cari di medsos hari ini?
Selain itu, kamu juga bisa melakukan langkah-langkah praktis berikut ini:
- Buat jadwal bebas gawai, semisal satu jam sebelum tidur atau hanya bermain gim satu jam pada akhir pekan, tergantung kecenderungan adiksi apa yang dirasakan anak;
- Sediakan alternatif aktivitas menarik seperti bermain bersama di luar, menawarkan buku bacaan, atau berolahraga bersama;
- Jadikan penguraan penggunaan layar sebagai bentuk kesepakatan alih-alih terkesan sebagai hukuman;
- Jika terlihat mengkhawatirkan, nggak ada salahnya untuk mengonsultasikan situasi tersebut kepada psikolog atau konselor sekolah.
Sedikit informasi, peneliti dari McGill University, Helen Thai, mengatakan bahwa remaja yang membatasi penggunaan media sosial hingga sekitar satu jam per hari akan mengalami peningkatan signifikan terhadap kepercayaan diri dan citra tubuh.
“Kami melihat peningkatan kesejahteraan mental setelah pengurangan screen time,” tuturnya saat mengungkapkan hasil temuannya kepada publik pada 2023, dikutip dari NPR.
Alih-alih melarang, lebih baik sering bertanya kepada anak tentang apa yang dilakukannya saat membuka ponsel. Mungkin, masalahnya bukanlah keinginan untuk terus-menerus menatap layar, tapi karena gawai adalah satu-satunya pelarian yang membuatnya tenang atau bahagia.
Kalau kita bisa membuatnya bahagia dan tenang, mungkin ponsel nggak akan lagi menjadi satu-satunya. Sepakat, Millens? (Siti Khatijah/E10)