Inibaru.id - Suara mesin-mesin jahit tua terdengar begitu jelas di sepetak ruangan yang nggak begitu luas, tapi cukup nyaman ditempati. Enam penjahit tampak bekerja menyelesaikan pesanan yang belakangan sedang banyak-banyaknya. Mereka nggak banyak bicara, terlihat sibuk sekali.
Sekilas, keenam pekerja tersebut tampak biasa. Namun, jika diperhatikan lebih saksama, para penjahit ini memang nggak berbicara secara verbal, tapi berkomunikasi dengan gestur tangan. Sesekali mereka juga bercanda, tapi dengan bahasa isyarat yang mungkin cuma dipahami mereka.
Yap, para penjahit ini tunarungu dan tunawicara. Mereka bekerja untuk UKM Anindya Batik yang beralamat di Jalan Kedungmudu Raya, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang. Sejak berdiri pada 2010 hingga detik ini, 90 persen karyawannya adalah kaum penderita disabilitas.
Sempat dirumahkan lantaran pandemi Covid-19, keenam karyawan UKM Batik Anindya itu kembali bekerja setelah seorang pelanggan asal Surabaya memesan 500 masker. Roda-roda mesin jahit pun digelindingkan dan pedal-pedal kembali diminyaki.
Rupanya, ini baru awal. Perlahan, pesanan masker kembali berdatangan, dipesan dari berbagai
daerah di Indonesia, bahkan sampai Singapura. Asa yang sempat bedah pun kembali terjalin. Senyum tersungging. Wajah mereka semringah.
Belum lama ini, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo bahkan sempat menyambangi UKM tersebut dan memborong semua masker yang ada. Saat ini, mereka memang hanya memproduksi masker, mulai dari masker batik, masker tenun, hingga masker fesyen. Keren!
Menjahit memang nggak ada hubunganya dengan kemampuan berbicara atau mendengar. Kendati menderita disabilitas pendengaran dan wicara, hasil jahitan mereka boleh diadu, kok. Ya, karena mereka memang seprofesional itu! (Triawanda Tirta Aditya/E03)