Inibaru.id - Sejumlah peti kemas berbagai ukuran dicat warna-warni, disusun dengan apik di sepetak tanah di sudut Jalan MH Thamrin Kota Semarang. Tumpukan kontainer itu membentuk sebuah kompleks bangunan yang unik. Ah, satu kafe lagi berdiri di pusat kota, pikir saya.
Namun, sepertinya saya keliru begitu melihat orang-orang bersarung memasuki kompleks bergaya industrial tersebut. Sebuah masjid?
Yap, seorang pemuda tanggung yang berada sepelemparan batu dari tempat ibadah umat muslim yang kemudian saya ketahui bernama Masjid Ahmad Bin Adenan itu mengonfirmasi. Saya bukanlah yang pertama kecele. Dari luar, kompleks kontainer yang dilengkapi deretan lampu warna-warni dan hiasan meriah itu memang lebih mirip kafe ketimbang masjid.
Namun, cobalah masuk ke masjid yang berlokasi nggak jauh dari Simpang Lima Semarang tersebut. Interior masjid sudah diberi lantai dan plafon kayu dengan dinding berwarna dominan putih. Laiknya kebanyakan masjid, bangunan ini juga memiliki mimbar, tempat imam, garis saf untuk makmum, serta penanda waktu salat.
Berbeda dari tampilan luarnya yang cukup ramai, desain interior masjid ini lebih kalem. Hangat, tapi terasa adem karena beberapa sudut ruangan tersebut telah dilengkapi AC. Berada di dalam masjid ini, saya merasa betah.
Pengurus Masjid Ahmad Bin Adenan Reza Mahardika mengklaim, mungkin inilah masjid pertama dan satu-satunya di Kota Semarang yang dibangun dari susunan kontainer.
“Kami sengaja pakai (konsep) kontainer biar kekinian dan memantik minat anak muda untuk berkunjung ke masjid ini,” terang Reza sembari mengajak saya melakukan tur singkat, belum lama ini.
Menurutnya, masjid kontainer Semarang ini memang sengaja dibangun dengan arsitektur kiwari agar bisa menjadi sarana dakwah dengan sasaran kaum muda. Kemudian, agar betah "nongkrong" di masjid, kompleks itu pun dilengkapi kafe dengan menu utama kopi kekinian dan camilan-camilan modern seperti kentang goreng dan burger.
Farhan, salah seorang pengunjung mengaku nggak menyangka bakal menemukan masjid dengan konsep seperti Masjid Ahmad Bin Adenan ini. Pemuda yang saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa aktif di Universitas Diponegoro Semarang tersebut juga merasa cocok dengan kafenya.
“Nggak menyangka ternyata di dalamnya ada masjid. Keren!" kata Farhan yang kebetulan duduk nggak jauh dari tempat saya nongkrong malam itu.
Oiya, selama Ramadan, Masjid Ahmad Bin Adenan buka 24 jam. Kebijakan tersebut dilakukan karena selama bulan suci nggak sedikit umat muslim yang umumnya beriktikaf atau berdiam diri di masjid pada malam hari, khususnya pada sepuluh hari terakhir.
Terus, mereka juga menggelar kajian singkat atau tausiah tiap hari selama bulan puasa. Kajian itu dilakukan saban sore sembari menunggu waktu berbuka puasa tiba.
Hm, konsep masjid yang menarik! Menurut saya, cara pendekatan seperti ini bakal lebih ngena di hati dan mudah diterima anak muda. Ramadan sudah mau habis nih; jangan lupa main ke kafe bermasjid, eh, masjid berkafe ini ya! (Triawanda Tirta Aditya/E03)