Inibaru.id - Kemerdekaan yang harusnya bisa dinikmati warga Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, terasa berkurang karena hingga kini mereka masih terbelenggu oleh kepungan banjir rob yang entah kapan bisa teratasi.
Namun demikian, mereka tetap merayakan ulang tahun kemerdekaan negeri ini yang ke-78 pada 17 Agustus lalu dengan gegap gempita. Hampir seluruh warga, dari anak-anak hingga lansia, bersama-sama menuju halaman masjid untuk mengikuti upacara.
Tepat pukul 08.30 WIB, mereka berbaris di titian "jalan", sedangkan para petugas pengibar bendera menceburkan diri ke air. Upacara pun dilangsungkan. Namun, nggak hanya bendera Merah-Putih yang dibentangkan, tapi juga spanduk bertuliskan: Merdekakan Kami Dari Krisis Iklim.
Upacara berlangsung sekitar setengah jam. Seusai pengibaran bendera yang diiringi lagu Indonesia Raya, pemuda desa bernama Imam Rianto pun membacakan harapan dan tuntutan warga Timbulsloko.
"Kami warga Timbulsloko, Demak. Kami juga ingin hidup tenang, damai, dan sehat. Segala bentuk, hal-hal dan upaya perusakan terhadap tempat hidup kami harus dihentikan. Kami juga berhak untuk hidup baik dan sehat. Dengan segala kekuatan yang ada, kami menyelamatkan diri, memerdekakan diri kami dari banjir rob dan krisis iklim," lontarnya.
Berdamai dengan Keadaan
Upacara bendera menjadi agenda rutin warga Timbulsloko tiap 17 Agustus. Setelahnya, mereka menggelar berbagai perlombaan untuk memeriahkan HUT RI laiknya warga lain di negeri ini. Namun, tentu saja semuanya digelar dengan keterbatasan lahan, karena kampung mereka telah lama dikepung lautan.
Roni, Ketua Karang Taruna Timbulsloko mengatakan, warga sejauh ini mulai mencoba berdamai saat mengetahui kampung mereka bakal terus-menerus terendam air akibat gelombang pasang air laut (rob) yang terus naik. Mereka tetap menggelar upacara sebagai bentuk penghormatan untuk para pahlawan.
"Ini tahun keempat kami upacara di tengah kepungan banjir rob. Kami mencoba berdamai dengan kondisi ini," ucap pemuda 21 tahun tersebut. "Yang kami butuhkan adalah (adanya) akses jalan."
Roni menjelaskan, akses jalan memang menjadi isu krusial di kampungnya. Sebab, ketika rob sedang tinggi, satu-satunya akses jalan menuju Timbulsloko akan terendam air. Jadi, warga yang ingin keluar-masuk desa harus menaiki perahu.
"Kami menganggap, apa yang terjadi di sini adalah ujian. Kalau kami ngeluh, malu sama pahlawan bangsa ini," imbuhnya.
Nggak Punya Pilihan
Desa Timbulsloko merupakan wilayah pesisir utara Jateng yang hanya berjarak sekitar 26 kilometer dari Kota Semarang. Menempati lahan seluas 461 hektare, jumlah penduduk di desa ini sekitar 3.469 jiwa pada 2015. Namun, jumlah ini terus berkurang dari tahun ke tahun.
Di RT 5 RW 7 misalnya, saat ini hanya tersisa sekitar 400 warga dari 140 keluarga. Ketua RT 5 RW 7 Sunhaji mengungkapkan, sebanyak 206 KK sudah pindah, sedangkan mereka yang bertahan harus terus-menerus meninggikan tempat tinggal.
"Untuk akses jalan, warga yang tersisa bergotong-royong membuat titian panggung berbahan kayu dari rumah ke rumah hingga ujung desa," jelasnya.
Sunhaji mengatakan, dia dan sebagian warga memutuskan untuk bertahan karena nggak punya pilihan. Nggak mudah baginya untuk pindah ke tempat yang lebih layak, meski sejatinya kondisi ini sebetulnya sudah mengharuskan mereka untuk bedol desa.
"Nggak semua bisa (pindah). Biaya dan adaptasi hidup di tempat baru tidaklah mudah, karena itulah kami bertahan," tutur lelaki paruh baya tersebut.
Pembangunan di Semarang
Sunhaji mengenang, Timbulsloko semula adalah wilayah persawahan hingga sekitar 2000-an. Sebagian warga berprofesi sebagai petani. Namun, rob mulai membanjiri kampungnya pada 2016. Alih-alih surut, tiap pergantian tahun mereka justru kian dihantui banjir yang semakin meninggi.
Ahli lingkungan dan tata kota dari Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang Milla Karmila menerangkan, penyebab utama banjir rob di Kecamatan Sayung, termasuk Timbulsloko, diduga terjadi karena masifnya pembangunan dan reklamasi di Kota Semarang.
Terkait hal ini, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Unissula itu banyak mengulas tentang krisis iklim yang berdampak pada kehidupan warga Sayung dalam buku Urip Dioyak-oyak Banyu yang beberapa waktu lalu dia terbitkan.
"Dulu, hidup warga Sayung sangat baik. Namun, pembangunan industri di pesisir berdampak buruk terhadap lingkungan mereka," ungkap perempuan yang akrab disapa Milla itu. "Persoalan ini jadi pekerjaan rumah bagi perguruan tinggi untuk menyuarakan keresehan mereka."
Kendati terkesan bersuara keras, dia menegaskan bahwa dirinya nggak antipembangunan, asalkan pemerintah nggak gegabah dan lebih memperhatikan aspek-aspek lingkungan. Menurutnya, krisis iklim di pesisir Sayung ini adalah tamparan dan kita harus bekerja sama menyelamatkan kampung yang terancam tenggelam itu.
"Sekarang tinggal menanti peran Pemkab Demak. Mereka seharusnya jadi penyambung lidah untuk menyampaikan keresahan warga ke pemerintah provinsi maupun pusat," tegas Milla. (Fitroh Nurikhsan/E03)