Inibaru.id - Kesan pertama saya saat masuk Among Jiwo begitu mendalam. Pikiran saya melayang pada gambaran rumah singgah yang ditempati William Figueras pada novela The Halfway House karya penulis Kuba Guillermo Rosales.
Ceritanya juga tentang rumah singgah untuk orang-orang tersingkirkan dari masyarakat, sangat mirip panti sosial untuk warga binaan seperti Among Jiwo: orang-orang di jalan yang ditolak masyarakat, tak diinginkan keluarga, atau punya masalah kejiwaan.
Among Jiwo adalah satu-satunya panti sosial milik Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang. Kepala Among Jiwo Sudiono mengatakan, pemkot memang wajib memberi tempat untuk mereka, yang memang patut diperlakukan sebagai manusia.
“Mereka juga punya kehidupan dan butuh kasih sayang,” tuturnya.
Warga binaan Among Jiwo datang dari berbagai penjuru dan cara. Bisa dari kiriman Satpol PP, melalui sukarelawan, atau berdasarkan laporan warga. Setelah sampai di Among Jiwo, nggak semuanya diterima. Pertama, mereka dilacak latar belakang dan gangguan kejiwaaan yang dialaminya.
Kalau tampak membutuhkan perawatan jiwa intensif, pasien dipindah ke rumah sakit jiwa. Namun, kalau sudah mentok, identitasnya nggak terlacak, atau kendati punya keluarga tapi nggak mampu atau nggak mau menerima, dia baru akan ditampung.
“Beberapa yang nggak punya identitas ada yang lupa dan sudah terlanjur terkena gangguan. Identitas tertulis atau sidik jari juga nggak ada,” papar Staf Konselor Among Jiwo Demawati Nur Azizah.
Sejauh ini, lanjut perempuan yang akrab disapa Dema itu, kira-kira warga binaan Among Jiwo berjumlah 100-an orang. Pengidap skizofrenia akut berjumlah 60 orang, tunawisma 25 orang, dan depresi atau skizofrenia ringan berjumlah 15 orang.
Menderita Skizofrenia
Dema mengungkapkan, sebagian besar jenis gangguan penghuni Among Jiwo adalah skizofrenia, yang memungkinkan penderita mengalami halusinasi dan ketakutan. Mereka kadang melihat bayang-bayang sesuatu atau bisikan-bisikan.
“Maka dari itu, mereka suka ngomong sendiri,” terang Dema, sapaan akrabnya, Rabu (26/8/2020).
Penyebab skizofrenia belum diketahui. Namun, kemungkinan merupakan kombinasi genetik, lingkungan, serta struktur dan senyawa kimia pada otak yang berubah. Penanganan gangguan jiwa kronis ini bisa seumur hidup dan sering melibatkan kombinasi obat psikoterapis.
Efek terburuk dari penyakit ini bisa membuat pengidapnya sampai bunuh diri, hal serupa yang dilakukan Rosales. Seumur hidup, Rosales mengalami ketidakcocokan hidup dan divonis menderita skizofrenia, lalu bunuh diri di Miami pada 1993. Saat itu usianya 47 tahun.
Di Among Jiwo, penderita skizofrenia akut diletakan di ruang isolasi tersendiri. Sebab, saat kambuh, penderita konon bisa melakukan hal-hal yang "mengkhawatirkan". Sementara, penderita skizofrenia ringan, depresi, dan lansia penderita Alzheimer, diletakan di ruangan berbeda.
Dema menuturkan, mereka yang kejiwaannya sedikit stabil diajak untuk membantu menjalankan rutinitas seperti membersihkan ruangan atau menyiapkan makan.
Eh, lebih dari satu jam "berinteraksi" di sana, agaknya saya salah menyamakan Among Jiwo dengan rumah singgah di The Halfway House. Di novela 144 halaman itu, Rosales menggambarkan rumah singgah seperti neraka dengan pengawas yang kejam. Namun, Among Jiwo sepertinya nggak begitu. (Audrian F/E03)