inibaru indonesia logo
Beranda
Adventurial
Mendesak; Hutan Mangrove di Desa Bedono Demak Harus Segera Dipermak!
Selasa, 12 Sep 2023 14:00
Penulis:
Bagikan:
Warga Dukuh Bedono, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, tengah berteduh di bawah mangrove yang memagari ancaman rob atau gelombang pasang air laut. (Inibaru.id/ Ayu Sasmita)

Warga Dukuh Bedono, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, tengah berteduh di bawah mangrove yang memagari ancaman rob atau gelombang pasang air laut. (Inibaru.id/ Ayu Sasmita)

Hutan mangrove bagi warga Desa Bedono, Kabupaten Demak, adalah barikade alami yang mencegah banjir rob yang terus meluas mengklaim permukiman mereka. Jika rusak, tentu butuh keputusan mendesak untuk mengatasinya.<br>

Inibaru.id - Seorang teman yang pernah meliput tentang tenggelamnya Kampung Senik di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, pernah bercerita, kondisi hutan mangrove di kampung yang pernah jadi lokawisata bakau itu belakangan kian memprihatinkan. Hutan terus mengalami abrasi.

Padahal, mangrove-mangrove yang tumbuh di atas kampung yang warganya telah bedol desa sejak 2006 itu adalah "rumah" bagi para burung pesisir, mangrove, dan biota laut. Kondisi saat ini, hutan mangrove kian terkikis; pohon-pohon mangrovenya pun meranggas dan bertumbangan.

Rumah warga berdampingan dengan pohon mangrove, untuk melindungi saat tingginya ombak laut di&nbsp;Dukuh Bedono, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Sabtu (2/9/2023).&nbsp;(Inibaru.id/ Ayu Sasmita)
Rumah warga berdampingan dengan pohon mangrove, untuk melindungi saat tingginya ombak laut di Dukuh Bedono, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Sabtu (2/9/2023). (Inibaru.id/ Ayu Sasmita)

Penasaran dengan cerita tersebut, saya pun menyambangi Dukuh Bedono, kampung yang bersebelahan dengan Dukuh Rejosari (Kampung Senik). Dukuh ini menjadi salah satu wilayah di Desa Bedono yang juga terdampak rob dan masih berpenghuni.

Sedikit informasi, Desa Bedono menjadi wilayah terdampak abrasi dan rob terbesar di Kecamatan Sayung. Dinas Kelautan dan Perikanan (Dinlutkan) Demak pada 2020 mencatat, tingkat abrasinya mencapai 669 hektare dengan luasan rob 684 hektare; jauh lebih luas ketimbang Desa Sriwulan (308 hektare), Timbulsloko (141 hektare), atau Surodadi (37 hektare).

Abrasi yang begitu parah ini telah melenyapkan sejumlah dukuh di Bedono, di antaranya Tambaksari, Rejosari Senik, dan Mondoliko. Hal itu tentu memilukan, mengingat dulu desa tersebut konon sempat menjadi kawasan pesisir yang dinaungi hutan mangrove alami yang lumayan lebat.

Mereka yang Bertahan

Rumah pasangan istri-suami Siti dan Sayidi, penggerak penanaman mangrove di Dukuh Bedono, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.&nbsp;(Inibaru.id/ Ayu Sasmita)
Rumah pasangan istri-suami Siti dan Sayidi, penggerak penanaman mangrove di Dukuh Bedono, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. (Inibaru.id/ Ayu Sasmita)

Menyambangi Dukuh Bedono, saya bertemu Siti dan Sayidi, pasangan istri-suami yang mendaku diri sebagai salah satu inisiator penanaman mangrove di kampungnya. Mereka juga menjadi penggerak Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di dukuh tersebut.

Begitu dipersilakan masuk ke kediaman mereka, saya merasa sedih karena rumah ini berbatasan langsung dengan lautan. Mangrove yang ditanam di sekitar rumah mereka, meski rindang hingga menutupi sebagian bangunan, nggak berhasil mengenyahkan rasa waswas di benak saya.

"Dulu, sebelum rob masuk tambak, saya tanami belakang rumah dengan mangrove, tapi banyak yang mati; hanya ini yang tersisa," ujar Siti sembari menunjuk mangrove jenis Avicennia marina (api-api putih), Avicennia alba (api-api hitam), dan Rhizophora mucronata (bakau hitam) di samping rumah.

Rumah Siti dan Sayidi tampak belakang yang berbatasan langsung dengan lautan di&nbsp;Dukuh Bedono, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.
Rumah Siti dan Sayidi tampak belakang yang berbatasan langsung dengan lautan di Dukuh Bedono, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.

Sebelum kami ngobrol lebih jauh, Siti dan Sayidi mengajak saya ke kawasan hutan wisata mangrove yang kini nggak pernah lagi dikunjungi wisatawan. Perjalanannya memakan waktu lima menit berjalan kaki di atas trek atau jembatan dari kayu dibangun di atas air yang mereka sebut trak mangrove.

Sepanjang perjalanan, saya merasa takut karena trak mangrove ini tampak rusak di sana-sini. Agaknya sudah cukup lama nggak diperbaiki. Sayidi mengatakan, karena berbahaya, wisata itu kini dibatasi dan orang yang melintas harus bersama pendamping.

"Trak ini dari bambu yang nggak kuat menahan terjangan ombak. Untuk diganti jadi kayu papan, butuh biaya yang lumayan tinggi. Jadi, karena belum ada dana, sementara trak kami biarkan begini dulu," tukas Sayidi.

Mangrove yang Rusak Parah

Bagian ujung hutan mangrove&nbsp;Dukuh Bedono, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, dalam keadaan miring bekas hantaman ombak laut, Sabtu (2/9/2023).&nbsp;(Inibaru.id/ Ayu Sasmita)
Bagian ujung hutan mangrove Dukuh Bedono, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, dalam keadaan miring bekas hantaman ombak laut, Sabtu (2/9/2023). (Inibaru.id/ Ayu Sasmita)

Menurut saya, nggak berlebihan saat teman saya mengatakan, Desa Bedono harus berbenah untuk melindungi hutan mangrove yang saat ini rusak parah. Tiba di ujung lokawisata yang dikenal sebagai Wisata Trak Mangrove Bedono ini, saya menyaksikan sendiri betapa memprihatinkannya situasi di situ.

Kondisinya tepat seperti yang digambarkan teman saya di Kampung Senik: abrasi mengikis hutan serta banyak pohon mangrove yang meranggas, bertumbangan, dan mati. Yang bikin tambah miris, banyak sampah laut yang nyangkut di akar mangrove.

Sampah yang nyangkut di akar serta mangrove yang meranggas dan mati menjadi pemandangan yang menyedihkan di hutan mangrove nggak jauh dari Dukuh Bedono. (Inibaru.id/ Ayu Sasmita)
Sampah yang nyangkut di akar serta mangrove yang meranggas dan mati menjadi pemandangan yang menyedihkan di hutan mangrove nggak jauh dari Dukuh Bedono. (Inibaru.id/ Ayu Sasmita)

Sayidi mengatakan, kondisi ini mulai dirasakan warga sekitar 2019. Abrasi yang masif telah mengikis bibir hutan mangrove tersebut hingga radius 50 meter. Menurutnya, hal tersebut sungguh disayangkan, karena butuh waktu bertahun-tahun untuk memperbaiki kondisi hutan mangrove itu.

"Tentu saja ini juga dengan catatan, kondisi lahan cukup memadai untuk ditanami kembali," terang Sayidi dengan raut muka sedih.

Menilik krisis iklim yang terjadi saat ini, sejujurnya saya pesimistis. Tingginya gelombang air laut dan penurunan tanah di Kecamatan Sayung membuat saya nggak ingin berharap terlalu banyak. Namun, Siti dan Sayidi tampaknya belum menyerah.

Hutan mangrove itu adalah benteng terakhir bagi mereka jika nggak mau bernasib seperti warga Rejosari atau Mondoliko yang terpaksa bedol desa. Inilah yang membuat saya khawatir. Mereka telah melakukan banyak hal, termasuk kampanye mengolah mangrove menjadi kopi, keripik, atau sirop.

Namun, butuh lebih banyak orang untuk mempertahankan keberadaan hutan mangrove yang mungkin telah berusia puluhan tahun ini. Mereka butuh kehadiran pemerintah dan dukungan dari kita semua. Kira-kira, apa yang bisa kita lakukan, ya? (Ayu Sasmita/E10)

Komentar

inibaru indonesia logo

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

Social Media

Copyright © 2024 Inibaru Media - Media Group. All Right Reserved