Inibaru.id - Lumayan lama nggak “dolan” ke kali, akhir Oktober kemarin saya datang ke sebuah acara sastra yang menjadi puncak dari rangkaian gelaran Kendal Novel Award (KNA) 2022. Acara ini terbilang unik karena digelar di Kebun Sastra Guyub, tepat di tepi sungai Bebengan, Desa Bebengan, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.
Nggak cuma menonton maraton pembacaan dan musikalisasi puisi, musik akustik, tari, dan pentas seni anak, saya juga merasakan pengalaman masa lalu yang lama banget nggak terulang; yakni memancing ikan dan berenang di sungai.
Tentu saja bukan saya yang melakukannya. Saya hanya menonton anak-anak yang asyik berenang sekitar sepelemparan batu dari lokasi festival memancing yang merupakan bagian dari puncak penganugerahan KNA 2022 ini.
Acara yang merupakan hasil kerja sama antara Komunitas Lereng Medini (KLM), Sangkar Arah Pustaka, Jarak Dekat Art Poduction, dan Pelataran Sastra Kaliwungu (PSK) itu memang sengaja dibuat menyatu dengan alam. Lebih dari itu, mereka juga melibatkan masyarakat setempat.
Saya yang datang dari luar kota tentu merasa senang bisa ada di antara mereka. Sembari mengunyah kacang rebus dan menyeruput teh panas yang mereka sajikan, sesekali saya berinteraksi dengan mereka, bersapa, atau sekadar berbalas senyuman.
Apresiasi untuk Seniman Kendal
Nggak jauh dari anak-anak yang berenang dan orang-orang yang memancing, panggung KNA 2022 berdiri. Oya, perlu kamu tahu, KNA 2022 merupakan puncak dari kompetisi menulis novel yang diperuntukan bagi para penulis dari Kendal.
Sebelumnya, para penulis telah mengirimkan manuskrip novel untuk diseleksi. Dari karya-karya tersebut, dewan juri yang terdiri atas Prof Mudjahirin Thohir (ketua/dosen dan sastrawan), F Rahardi (anggota/sasatrawan), dan Sigit Susanto (anggota/penulis dan penerjemah) itu akan menilai, lalu memilih yang terbaik.
Yang menarik, apresiasi untuk para penulis ini bukan berupa uang tunai atau barang-barang elektronik, tapi hewan ternak yang akrab dengan kehidupan kita, yakni kambing, kelinci, bebek, dan ayam. Ketua KNA 2022 Heri CS bilang, hadiah memang nggak harus uang dengan nominal yang wah.
“Sastra nggak harus dimaknai sebagai sesuatu yang mewah dan mahal. Bisa pula dengan memanfaatkan hewan di sekitar yang kita miliki,” ujar peraih Satu Indonesia Award itu dalam sambutannya.
Novel Terbaik Diganjar Kambing
Berlangsung sejak pagi, KNA 2022 dimeriahkan dengan pelbagai kesenian, mulai dari drama tari persembaha Sanggar Nyi Pandansari hingga tembang macapat yang dilantunkan Adelia Faranisa Azni. Puncaknya, apresiasi tertinggi KNA 2022 pun diberikan kepada empat pemenang.
Juara I jatuh ke tangan Yozar F Amrullah dengan karyanya yang berjudul Antara Kau dan Dia. Sebagai peraih novel terbaik, novelis asal Cepiring yang akrab disapa Yozar itu mendapatkan seekor kambing betina peranakan etawa sebagai hadiah utama.
Meraih Juara I, Yozar mengaku terkejut, meski wajahnya terlihat semringah dan lega. Ayah satu anak itu mengatakan, dia sempat merasa nggak yakin saat mengirimkan karya karena kurang percaya diri dalam membuat cerita drama.
“Saya nggak yakin kisah yang ada nuansa romansa dari saya akan bisa mendapat tempat di hati dewan juri, mengingat saya merasa kurang romantis,” akunya, lalu tertawa ringan.
KNA adalah Terobosan Luar Biasa
Lebih jauh, Yozar mengungkapkan, dia merasa senang dengan keberadaan ajang menulis novel di daerah seperti KNA. Menurutnya, selain memupuk rasa percaya diri sastrawan lokal, KNA adalah terobosan luar biasa untuk perkembangan sastra daerah.
"Semoga KNA selalu lestari dan rutin digelar setahun sekali," ujar lelaki yang sehari-hari berprofesi sebagai dosen Bahasa Inggris ini dengan wajah berbinar-binar. “Kalau bisa dengan skala yang meningkat, dari kabupaten ke provinsi, hingga akhirnya nasional."
Bersama Yozar, tiga novelis lain yang juga menerima penghargaan adalah Saffina Az Zahra (Pijakan Uap), Salwa Aliva Rahmanda (Sensei of the Blue), dan Wahyu (Seons Kurang). Ketiganya juga diganjar hewan ternak, yakni kelinci, ayam, dan bebek.
Lepas tengah hari, acara pun kelar. Sejujurnya, datang ke acara sastra seperti KNA di Boja ini membuat saya mengetahui bahwa sastra yang bersahaja, membaur dengan warga, tapi tetap kuat menyalurkan semangatnya itu ada. Ya, sastra seperti ini ada dan terasa jauh lebih berasa! (Siti Khatijah/E03)