Inibaru.id – Bagi mayoritas masyarakat Jawa, perut terasa nggak kenyang jika belum memakan nasi.
Apalagi dengan pelbagai lauk pauk yang selalu hadir di atasnya.
Biasanya, sajian nasi dengan pelbagai lauk dinamakan nasi golong atau yang lebih dikenal dengan nasi tumpeng yang nasinya berbentuk bola-bola.
Nasi golong biasa disajikan ketika seseorang atau kelompok, bahkan keraton yang melaksanakan suatu ritual.
Saran Raja Bertemu Rakyat
Dikutip dari Babad (13/09/22), nasi golong pertama kali tercetus pada tahun 1744. Dia yang menemukan adalah Sunan Pakubuwana II.
Nasi golong biasa dimasak saat ritual adang sega tahun dal yang masih dilaksanakan di Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Tradisi ini dilaksanakan tiap sewindu sekali, yakni tepat saat perayaan Grebeg Maulud Tahun Dal.
Tahun Dal adalah tahun ke lima dalam siklus penanggalan Jawa. Uniknya, nasi golong kala itu sengaja dibuat oleh Raja Mataram untuk berjumpa dengan para rakyatnya.
Dimasak Menggunakan Pusaka
Hingga kini, cara memasak nasi golong masih pada kebiasaan yang sudah ditentukan sang raja, yakni menggunakan pusaka. Keraton Surakarta menggunakan periuk bernama Kiai Dhuha, untuk menanak nasi. Periuk ini konon periuk milik Dewi Nawangwulan, salah satu wanita dalam mitologi Joko Tarub.
Sedangkan Keraton Yogyakarta, mereka menggunakan pusaka bernama kendil Nyai Mrica. Para permaisuri keraton memang biasa memasak nasi menggunakan kendil tersebut. Lalu, Sultan Hamengku Bawono X membentuknya menjadi bola-bola kecil.
Bentuk nasi yang bulat ini menggambarkan arti kebersamaan dan persatuan oleh raja dan semua rakyatnya.
Lekat dengan Ritual
Dikutip dari Kompasiana (6/1/21), nasi golong disajikan bersama dengan banyak sekali lauk pauk. Seperti ayam, telur, srundeng, dan sayuran di samping gunungan tumpeng.
Lauk pauk tersebut menggambarkan akan hubungan manusia yang terkadang saling tumpah ruah, nggak beraturan. Nggak heran, nasi pada zaman dahulu sudah memaknai agar manusia harus menjaga dirinya sebaik mungkin agar nggak terganggu oleh hal cela di sekitarnya.
Dalam Lubdaka, kitab sastra Jawa Kuno yang disusun pada abad ke-IX dalam Serat Chentini, tertulis bahwa nasi, ayam, dan telur nggak dikonsumsi sebagai menu sehari-hari. Maka dari itu nasi golong sangat lekat kaitannya dengan ritual masyarakat Jawa.
Beberapa ritual yang sampai saat ini masih diterapkan misalnya ruwatan, kenduri, sedekah, larung sesaji, hingga kegiatan lain yang melibatkan banyak orang. Bahkan di dalam Serat Chentini ada pembahasan mengenai estetika yang dilakukan oleh masyarakat Jawa ini.
Selain nasi golong atau tumpeng yang disajikan enak dipandang dengan padanan lauk pauk yang tergabung, nasi tersebut juga enak dimakan dan menyehatkan. (Kharisma Ghana Tawakal/E05)