Inibaru.id – Kematian nggak wajar, semisal bunuh diri, tersambar petir, atau terserang wabah tertentu, disikapi warga desa dengan bermacam-macam cara. Di Purbalingga, tepatnya di Desa Dusun Gligir Sapi, Desa Arenan, Kecamatan Kaligondang, masyarakat menggelar ritual pemotongan sapi.
Pemotangan sapi merupakan bagain dari tradisi ritual tolak bala yang disebabkan oleh kematian nggak wajar tersebut. Ritus itu biasa disebut tolak bala winduan.
Untuk menjalankan ritus, warga Gligir Sapi berkerumun memotong seekor sapi berukuran sedang. Sapi itu dililit kain mori dan dihiasi untaian kembang kantil dan mawar yang diletakkan di punggungnya.
Setelah itu, 12 pria dewasa dengan sigap memindah sapi yang telah dipotong itu ke perangkat angkut semacam keranda. Sapi itu diposisikan sedemikian rupa, layaknya sapi yang tengah bersideku (bagian punggung di atas).
Ritual memotong sapi di Desa Gligir Sapi. (Tribunnews)
Mereka mengaraknya menuju tempat ritus berikutnya di dusun bagian bawah, tepatnya di depan masjid. Sementara, ratusan warga dengan tertib mengekor di belakang sapi itu.
Tolak bala winduan telah digelar warga dusun tersebut selama puluhan tahun. Ini nggak lepas dari kisah-kisah kematian misterius yang terjadi pada masa lalu. Dulu, Gligir Sapi atau punggung sapi itu merupakan tempat hewan-hewan raja yang dibuang atau dipendam.
Ketika sudah menjadi perkampungan, konon tempat itu kerap mengalami kematian beruntun dengan sebab-sebab kurang wajar.
Para tetua dan tokoh masyarakat lantas berembuk untuk menghentikan musibah itu. Seorang tetua menyarankan warga menggelar ritus tolak bala berupa potong sapi. Kepala sapi, punggung, ekor, dan kaki, dipendam di empat penjuru kampung. (IB20/E03)