Inibaru.id – Gunung Merapi mengalami puncak erupsi pada 26 Oktober 2010. Mbah Maridjan, sang juru kunci yang enggan dievakuasi, ditemukan nggak bernyawa dalam posisi sujud di dalam rumahnya di Dusun Kinahrejo, Cangkringan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.
Lebih dari sedekade pascakejadian itu, jabatan juru kunci yang diperoleh Marijdan dari ayahnya kini diemban sang anak, Asihono. Seolah mengulang kejadian 2010, Asihono kini dihadapkan pada kondisi yang hampir sama: Merapi menggeliat!
Perlu kamu tahu, Merapi adalah salah satu gunung yang banyak mengubah sejarah di Jawa. Pada abad ke-10, konon Kerajaan Medang (Mataram Kuno) terpaksa dipindahkan. Lalu, pada 1006, erupsi gunung di perbatasan Jawa Tengah-DI Yogyakarta itu juga mengubur Candi Borobudur dan Prambanan.
Dua erupsi besar itu tentu saja menjadi gambaran gamblang betapa dahsyatnya Merapi. Gunung yang dalam naskah lama disebut Mandrageni ini juga terbilang sangat aktif, karena hampir selalu bergolak dalam 2-4 tahun.
Sejak Mbah Maridjan menjabat juru kunci pada 1982, beberapa kali Merapi mengalami letusan, di antaranya pada 1994, 1998, 2006, dan 2010. Selama itu pula Maridjan enggan mengungsi. Bahkan, saat Sultan Hamengkubuwono X meminta Maridjan mengungsi, dia menolak. Dia pun mangkat.
Era Mbah Maridjan pun berlalu. Kini, Asihono yang menghadapi Merapi. Gimana dia bakal bersikap? Sedikit informasi, selain sebagai juru kunci, Asihono juga menjadi staf administrasi di Universitas Islam Indonesia, kampus yang berlokasi di punggung Merapi.
Bekerja di dunia pendidikan sejak 1996 membuat Asihono memiliki pendekatan tersendiri dalam menanggapi aktivitas Gunung Merapi. Asihono rutin berkomunikasi dengan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG).
Jika ada imbauan dari lembaga ini, dia nggak akan mengabaikannya dan segera memberitahukannya kepada warga.
“Saya melaksanakan tugas yang diberikan keraton terkait kondisi Merapi. Tentu saja saya harus berkomunikasi dengan pemerintah. Saya memang bisa mengamati aktivitas gunung lewat mata telanjang, tapi mereka kan memakai peralatan lebih canggih,” jelas Asihono.
Menurutnya, salah satu peran yang dijalankan juru kunci adalah mengabarkan adanya kemungkinan bahaya erupsi. Dulu para juru kunci memakai ilmu titen alias menghapal kebiasaan Merapi untuk memberi peringatan pada warga. Juru kunci juga berdoa agar kalau pun erupsi, nggak ada korban.
Asihono mengaku saat ini cukup menekankan pentingnya peran Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dalam memberikan informasi mitigasi terhadap warga. Baginya, hal ini sangat penting bagi keselamatan mereka.
Lebih dari itu, Asihono tetap memegang peran juru kunci, yakni meredam kepanikan masyarakat di tengah masa bencana, sembari tetap meminta mereka senantiasa waspada. Saat ini Asihono juga mengaku masih mempersiapkan ritual Labuhan Merapi yang berlangsung setiap 30 Rajab.
Mengemban tugas sebagai juru kunci dari salah satu gunung teraktif di Indonesia tentu saja bukanlah pekerjaan mudah. Di tengah masyarakat yang nggak bisa lepas dari gawai, juru kunci yang melek teknologi tentu menjadi suatu kelebihan tersendiri. Baik-baik ya, Merapi! (Vic/IB09/E03)