Inibaru.id – Arsip adalah bentuk penghormatan terhadap karya-karya yang pernah lahir dan tumbuh di tengah masyarakat. Hal ini dilontarkan Siwi Agustin, pegiat sastra asal Pati di tengah para pegiat sastra yang malam itu berkumpul di Kampung Budaya Piji Wetan, beberapa waktu lalu.
"Melalui arsip, kisah dalam teater, puisi, hingga prosa yang mencerminkan kehidupan masyarakat bisa dijaga agar tetap hidup di tengah ingatan kolektif," serunya menyaingi suara hujan yang turun cukup deras di kampung yang berlokasi di Desa Lau, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, tersebut.
Hari itu, Siwi dan para pegiat sastra dari Kudus, Pati, dan Jepara tengah berbincang hangat tentang arsip sastra yang diselenggarakan Kampung Budaya Piji Wetan dengan Phos Zine, dua komunitas yang dikenal sebagai penjaga denyut budaya lokal di sana.
“Arsip itu pusaka. Tanpa arsip, karya-karya yang pernah ada akan lenyap seperti debu terbawa angin,” lanjut Siwi yang segera disambut dengan tepuk tangan para peserta yang didominasi para penulis, kritikus, dan pencinta sastra ini.
Penjaga Ingatan
Menyambung perkataan Siwi, Linda Natalia yang datang dari Jepara pun mengutarakan pendapatnya. Menurutnya, arsip juga menjadi penanda perubahan sosial dan budaya. Karya sastra merupakan cermin bagi generasi berikutnya, sedangkan arsip adalah penjaga ingatan.
“Arsip adalah harta yang kelak diharapkan bisa dirasakan anak cucu sebagai warisan kolektif,” ujarnya sebelum mulai bercerita tentang pengarsipan yang diterapkan di Jaladara, komunitas yang dia hidupi bersama kawan-kawannya.
Malam itu, rangkaian diskusi bertajuk Bincang Skena Sastra: Arsip, Kritik, dan Pertunjukan ini berlangsung interaktif. Selain arsip, topik lain yang juga seru untuk didiskusikan adalah kritik sastra. Salah seorang pemantik diskusinya adalah Afif K Sanjaya.
Lelaki asal Kudus tersebut mengatakan, fungsi dari kritik bukanlah semata menilai, tapi juga melihat karya dengan mata baru untuk memperdalam makna. Kritik yang sehat adalah hadiah berharga bagi penulis, karena memungkinkan mereka melihat karya dengan perspektif yang lebih luas.
“Kritik membantu kita untuk menggali lebih dalam, bukan hanya soal bagus atau tidak, tapi juga bagaimana karya itu berdialog dengan pembaca,” sahutnya diikuti senyum simpul.
Bermain dengan Kebisingan
Selesai dengan diskusi sastra yang cukup mengerutkan kening, para peserta pun dihibur dengan sesi pertunjukan yang digawangi Adidun, Elang, dan Siwi. Berkolaborasi dengan Pimpimpo x Haymbun, mereka menyatukan puisi, gerak, dan musik dalam satu kesatuan penampilan.
Awal penampilan, musik noise dihadirkan Elang dkk. Iramanya tampak kacau. Namun, ketika ditampilkan bersama gerak dan lantunan puisi, ada harmoni yang membuat pertunjukan menjadi sinkron, bermakna, dan berterima di telinga maupun mata.
“Kami (sengaja) bermain dengan kebisingan, mengajak penonton melihat keindahan dari kekacauan,” tukas Adidun seusai pertunjukan. "Kami ingin menggugah perasaan penonton dan memecah batas interpretasi."
Malam itu, rangkaian Bincang Skena Sastra: Arsip, Kritik, dan Pertunjukan di Piji Wetan berlangsung lancar. Tujuan utama mereka, yakni menyatukan orang-orang yang peduli pada kekayaan sastra setempat juga berhasil. Setidaknya, selangkah maju untuk menjaga identitas lokal telah berhasil dilakukan. (Imam Khanafi/E03)