Inibaru.id - Kelakuan sejumlah anggota DPR dan pejabat pemerintah yang "unik" belakangan ini acap membuat kita pengin mengumpat secara spontan. Namun, karena menganggap mengumpat sebagai perilaku negatif, kita pun memilih untuk mengurungkannya.
Padahal, dalam hal umpat-mengumpat, Indonesia terbilang kaya kosa kata. Hampir tiap daerah memiliki kata-kata kasarnya sendiri. Mengumpat juga nggak hanya dilakukan untuk mengungkapkan rasa marah atau kecewa. Kita juga melakukannya saat kaget, sedih, atau senang.
Meski acap dikaitkan dengan perilaku kasar, nggak sopan, atau kurang ajar, umpatan justru menjadi simbol keakrabanakan di sejumlah wilayah seperti Bandung, Semarang, dan Surabaya. Bahkan, sains memandang umpatan sebagai bentuk kejujuran dan kecerdasan linguistik.
Temuan dari hasil studi internasional ini diterbitkan dalam jurnal Social Psychological and Personality Science pada Januari 2017 dengan tajuk "Frankly, we do give a damn: The relationship between profanity and honesty".
Umpatan adalah Bentuk Kejujuran
Penelitian yang melibatkan akademisi dari University of Cambridge, Maastricht University, hingga Hong Kong University of Science and Technology tersebut menemukan fakta bahwa orang yang sering mengumpat justru lebih jarang berbohong.
“Profanity was associated with less lying and deception at the individual level, and with higher integrity at the society level,” tulisnya, yang kurang lebih menjelaskan bahwa di tingkat individu, umpatan berkorelasi dengan perilaku lebih jujur; sementara di tingkat masyarakat, ada kaitannya dengan integritas yang lebih tinggi.
Dr David Stillwell, dosen psikologi dari University of Cambridge yang sekaligus menjadi salah seorang peneliti mengatakan, meski terdengar kasar, umpatan adalah bukti bahwa seseorang sedang berbicara apa adanya, tanpa sensor maupun polesan.
"Mengumpat adalah bentuk paling jujur dari opini mereka. Dengan tidak memfilter omongan, mereka juga tidak memfilter pandangan," terangnya.
Mengumpat dari Segi Linguistik
Penelitian lain di AS menyebutkan bahwa orang yang biasa mengumpat umumnya mempunyai kosa kata yang lebih variatif. Penelitian ini dilakukan oleh Benjamin Bergen, profesor linguistik sekaligus direktur Language and Cognition Lab di University of California, San Diego.
Dikutip dari wawancara eksklusifnya via Time pada 2016 lalu, Bergen menekankan bahwa orang-orang yang memiliki lebih banyak kosa kata akan mampu menghasilkan kata kasar yang lebih variatif dibanding mereka yang sedikit kota katanya.
Eksperimen di bidang linguistik itu menemukan, peserta yang bisa menyebut lebih banyak kata umpatan spontan juga mampu menyebut lebih banyak nama hewan dalam waktu terbatas. Ini sekaligus menepis pandangan umum yang melihat bahwa pengumpat biasanya miskin kata-kata.
"Mengumpat menunjukkan keluwesan dan kekayaan bahasa," tutur Bergen. "Umpatan adalah bagian alami dari komunikasi manusia yang mencerminkan kompleksitas emosi sekaligus kreativitas berbahasa."
Mengumpat dengan Beretika
Tentu saja kedua penelitian itu nggak bertujuan untuk mengatakan bahwa kita bebas mengumpat. Kata-kata kasar tetap saja nggak bisa dilakukan di segala situasi. Dalam budaya sehari-hari, umpatan tetap punya stigma negatif seperti nggak sopan, menyinggung, atau melukai perasaan.
Dalam lingkaran pertemanan dekat, umpatan bisa dipahami sebagai ungkapan keakraban atau humor. Namun, di ruang publik atau lingkungan formal, kata-kata kasar tetap bisa berdampak buruk pada reputasi dan hubungan sosial.
Kuncinya adalah konteks. Umpatan spontan saat kaget mungkin bisa dimaklumi. Namun, umpatan yang ditujukan pada orang lain, apalagi dengan maksud merendahkan, jelas masuk ranah nggak etis. Temuan-temuan itu hanyalah sudut pandang baru untuk menunjukkan bahwa mengumpat nggak selalu buruk.
Dalam situasi tertentu, ia adalah cermin kejujuran, ekspresi emosional yang tulus, bahkan bukti kecerdasan linguistik. Namun, meski fasih mengumpat, kita nggak selalu harus melakukannya, kan?
Dengan mengetahui hasil studi ini, seharusnya kamu jadi lebih bersabar saat ada temanmu yang mendadak mengumpat. Kamu justru sebaiknya bersyukur, karena artinya dia bisa berkata apa adanya di hadapanmu. Bukankah tujuan berkomunikasi adalah untuk itu? (Siti Khatijah/E10)
