Inibaru.id - Di tengah masyarakat yang kian individualis dan terkotak-kotak seperti sekarang ini, agak sulit menemukan tradisi yang melibatkan masyarakat sekampung atau satu desa. Namun, sepertinya hal itu nggak berlaku di Desa Jungpasir, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak.
Hingga kini, hari-hari masyarakat di kampung yang berada di wilayah pantai utara ini masih dipenuhi pelbagai macam acara desa yang melibatkan banyak orang, salah satunya Tradisi Bancakan yang baru-baru ini digelar saat memperingati malam Nisfu Syakban.
Secara umum, bancakan adalah tradisi makan bersama yang umumnya diawali dengan pengungkapan rasa syukur dan harapan. Hal ini juga dilakukan saat menyambut malam Nisfu Syakban di Desa Jungpasir pekan lalu. Setahu saya, tradisi itu sudah dilakukan sejak lama dan masih lestari hingga kini.
Bagi warga setempat, selain momen makan bersama, tradisi ini juga menjadi upaya untuk mempererat tali silaturahmi serta memperkuat nilai-nilai keagamaan dan kebersamaan antarwarga, tanpa memandang usia maupun jenis kelamin.
Memperkuat Solidaritas Sosial
Sedikit informasi, Nisfu Syakban adalah pertengahan bulan Syakban, bulan terakhir sebelum Ramadan dalam kalender Hijriah, yang dipercaya umat muslim sebagai malam yang penuh keberkahan. Malam itu biasa diisi dengan beribadah, berdoa, dan memohon ampunan kepada Tuhan.
Nah, bagi masyarakat Desa Jungpasir, selain untuk berdoa dan beribadah, malam itu rupanya juga memiliki makna lain, salah satunya untuk memperkuat solidaritas sosial. Upaya memperkuat solidaritas itu dilakukan melalui tradisi bancakan.
Jadi, bisa dibilang tradisi bancakan di desa itu adalah perwujudan nyata dari semangat kebersamaan. Mereka berkumpul untuk saling berbagi makanan dan bertukar doa-doa baik demi kebaikan bersama. Kebetulan, saya turut hadir dalam acara yang digelar hampir seluruh warga tersebut.
Karena hidangan yang akan disajikan cukup banyak, warga biasanya telah mempersiapkannya sehari sebelum Nisfu Syakban tiba. Menunya antara lain nasi tumpeng, ayam ingkung, aneka lauk, serta jajanan tradisional seperti ketan, apem, dan jenang.
Simbol Rasa Syukur
Berdasarkan penuturan tetua di desa tersebut, makanan yang disajikan dalam tradisi bancakan merupakan simbol rasa syukur dan harapan akan keberkahan pada masa mendatang. Seluruh hidangan dibawa ke musala, tempat perayaan Nisfu Syakban digelar.
Acara dimulai dengan pembacaan doa bersama, lantunan surat Yasin sebanyak tiga kali, serta permohonan ampunan kepada Allah. Setelah itu, hidangan yang telah dikumpulkan dibagikan secara merata sehingga semua orang dapat menikmati hidangan tanpa melihat status sosial atau ekonomi.
Saya suka melihat gimana kebersamaan di sana terbentuk. Semua orang, tanpa memandang usia, duduk bersama untuk menikmati hidangan yang sama. Menurut saya, pemandangan itu cukup sulit untuk ditemukan hari-hari ini.
Pada era modern seperti sekarang, banyak tradisi seperti ini memang mulai ditinggalkan. Namun, agaknya hal tersebut nggak berlaku untuk warga Desa Jungpasir. Siti, salah seorang warga yang selalu ikut dalam tradisi ini mengatakan, masyarakat di desa itu memang terus diajari untuk mempertahankan tradisi ini.
Memperbaiki Hubungan Antarwarga
Menurut Siti, bancakan juga menjadi momen untuk saling memaafkan sebelum memasuki Ramadan. Banyak warga yang memanfaatkan acara ini untuk memperbaiki hubungan yang mungkin sebelumnya sempat renggang.
“Dengan bancakan, kami belajar bahwa berbagi itu indah dan kebersamaan adalah kunci dalam menjaga harmoni di desa kami,” ungkapnya.
Hal serupa juga diungkapkan Mulyono. Dia berharap, tradisi ini bisa terus digelar di desanya. Menurutnya, tradisi ini bukan hanya tentang makan bersama, tapi memiliki makna spiritual, sosial dan budaya yang lebih dalam; yakni mengajarkan untuk selalu berbagi, bersyukur, dan menjaga hubungan baik dengan sesama.
“Kami ingin anak-anak muda tetap mengenal dan meneruskan budaya ini. Karena selain menjaga kebersamaan, tradisi bancakan juga mengajari kami untuk selalu bersyukur,” kata dia.
Dengan mempertahankan tradisi bancaan, warga Desa Jungpasir nggak hanya tengah menjaga warisan leluhur, tapi juga menciptakan lingkungan yang harmonis. Semoga terus lestari, ya! (Alya Himmatul Aliyah/E10)