Inibaru.id – Di antara deretan toko di Jalan MT Haryono, Kota Semarang, ada satu yang tampil mencolok karena meski nggak dilengkapi dengan papan nama yang besar atau desain modern, justru dijejali pelanggan. Toko itu bernama Maganol, yang ternyata sudah berdiri sejak tahun 1965 dan disebut-sebut sebagai toko layangan tertua di Kota Semarang.
Nama Maganol sendiri diambil dari alamat tokonya, MT Haryono nomor 530 yang angkanya disingkat menjadi Ma-Ga-Nol. Sebuah nama yang sederhana tapi menyimpan sejarah panjang tentang ketekunan, ketahanan, dan tentu saja kecintaan pada dolanan tradisional Indonesia, layangan.
Kini, toko legendaris tersebut dikelola oleh Mulyono Sentoso (68), generasi kedua yang meneruskan usaha keluarganya sejak awal 1980-an. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan modernisasi, Mulyono tetap setia menjual aneka layangan dari jenis aduan hingga hias, serta benang-benang layangan legendaris seperti Cap Hiu, Cobra, dan Cat Blue.
“Kalau musim kemarau datang, toko ini pasti ramai. Mulai dari anak-anak sampai bapak-bapak datang cari layangan atau benang gelasan,” kata Mulyono sambil tersenyum di sela-sela membungkus pesanan kliennya dari luar kota, sebagaimana dinukil dari Radarsemarang, Minggu (29/6/2025).
Yap, pembeli toko Maganol tak hanya datang dari Semarang, melainkan juga dari daerah lain seperti Magelang, Kendal, hingga Yogyakarta. Banyak dari mereka yang bertandang ternyata adalah pedagang eceran yang kulakan layangan untuk dijual kembali. Mengapa mereka memilih untuk membeli layangan di situ? Karena harga yang ditawarkan sangat terjangkau, mulai dari Rp1.000–Rp2.000 per layangan, tergantung ukuran dan kualitas.
Menariknya, awalnya Maganol berdiri bukanlah sebagai toko layangan. Ceritanya, ayah Mulyono dulunya adalah seorang guru di sekolah Tionghoa. Setelah peristiwa G30S/PKI pada 1965, banyak sekolah etnis Tionghoa ditutup. Untuk bertahan hidup, orang tuanya mulai berjualan apa saja dari tembakau, roti kering, onderdil sepeda, hingga mainan seperti layangan.
Lambat laun, layangan justru menjadi primadona dan paling dicari pembeli, apalagi saat musim kemarau. Layangan aduan seperti Sukhoi dan Seot selalu laku keras. Belum lagi layangan hias seperti Pegon atau layangan khas Bali yang juga banyak diburu. Sejak saat itulah, toko Maganol lebih dikenal sebagai toko layangan.
Sayangnya, bertahan di bisnis mainan tradisional tidaklah mudah. Mulyono menyebut benang dan layangan yang dia jual sebagai barang musiman yang nggak mudah dicari bahannya. Barang-barang tersebut juga cenderung rentan karena sangat sensitif terhadap kelembapan serta serangan kutu bambu.
“Pernah setahun nggak ada musim layangan. Tapi kami tetap buka dengan sabar. Nanti kalau sudah mulai ramai lagi, toko ini akan hidup kembali,” ungkapnya.
Kini, Mulyono berharap ada generasi berikutnya yang mau meneruskan kepengurusan Toko Maganol. “Anak saya dua, yang sulung sudah meninggal. Kalau yang satu nanti mau nerusin, ya alhamdulillah. Tapi semua tidak bisa dipaksakan,” pungkasnya lirih.
Yang pasti, dengan keterampilan tangan Mulyono yang masih cekatan mengurus layangan dan benang, Maganol akan terus jadi jujugan pencari layangan, khususnya di musim kemarau seperti sekarang. Kalau kamu sendiri, apakah juga beli layangan di sana Millnes? (Arie Widodo/E07)