Inibaru.id – Boleh jadi jenis kesenian ini nggak populer di Purworejo, Jawa Tengah. Maklum, kesenian dari zaman old ini tinggal punya satu kelompok. Tapi perlu kamu tahu, kesenian ini punya nilai sejarah dan kebudayaan yang tinggi, lo.
Nama kesenian itu Ching Pho Ling . Kelompok satu-satunya yang tersisa adalah Tunggul Wulung di Desa Kesawen, Kecamatan Pituruh, yang berdiri pada 1957.
Merujuk repo.isi-dps.ac.id, Nanik Sri Prihatin, Dosen Jurusan Tari di Pascasarjana Institut Seni Indonesia, menyebut bahwa Ching Pho Ling merupakan kesenian hasil dari budaya pisowanan masyarakat Purworejo pada masa lampau.
Pisowanan merupakan kegiatan pelaporan yang dilakukan para demang yang bertugas mengawasi daerah yang zaman dulu kepada seorang adipati. Melalui pisowanan, para demang didampingi para pengawalnya melaporkan situasi dan kondisi masyarakat yang dia pimpin.
Baca juga:
Mendak Tirta, Tradisi Umat Hindu Boyolali Jelang Nyepi
Salawatan Simtudduror dan Paduan Tiga Budaya
Saat itu, perjalanan yang ditempuh demang dan para pengawalnya cukup jauh. Karena itu, mereka selalu membawa payung, senjata berupa pedang, dan alat bunyi-bunyian untuk hiburan saat perjalanan. Kebiasaan arak-arakan inilah yang kemudian melahirkan kesenian Ching Pho Ling di Purworejo.
Kesenian tersebut terdiri atas seni tari dan musik. Terdapat sembilan orang penari dan enam orang pemusik yang semuanya laki-laki. Sembilan orang penari tersebut punya peran berbeda-beda. Ada pemayung yang memimpin barisan, penari pemencak, penari pengiring, serta pembawa instrumen musik kendang buntung atau ketipung, dan penari pembawa instrumen kecrek.
Nah, karena kesenian ini begitu kental mencerminkan budaya pisowanan kaum priyayi, kostum yang digunakan biasanya berupa blangkon, beskap, celana hitam, serta hiasan lainnya. Sementara itu, properti yang mereka gunakan terdiri atas pedang, keris, dan bendera.
Oya Millens, nama Ching Pho Ling memang bukan berasal dari perbendaharaan bahasa Jawa. Nama yang terdengar seperti bahasa mandarin itu memiliki beberapa tafsiran. Yang pertama, nama tersebut diambil dari tiga nada instrument bende, yaitu nada 3 (lu), 2 (ro), dan 7 (pi) yang berbunyi “ning, nung, ning” yang entah kenapa punya sebutan Ching Pho Ling.
Yang kedua, Ching Pho Ling dipercaya berasal dari singkatan nama tiga orang prajurit atau pengawal Ki Demang, yaitu Buncing, Dipo, dan Keling. Yang ketiga, Ching Pho Ling menggambarkan kejadian saat ada musuh di perjalanan pisowanan. Para Demang menghadapi mereka sampai akhirnya para musuh tersebut lari tunggang-langgang dalam bahasa Jawa “sak pol-pol e” bahkan sampai terkencing-kencing. Ungkapan itu, entah mengapa pula, berupah sebagai Ching Pho Ling. Adapun yang terakhir, nama itu berasal dari bahasa Mandarin, yang berarti perintah untuk menjamin keamanan dan kejahatan.
Baca juga:
Pertalian Budaya antara Gambang Semarang dan Gambang Kromong
Sucikan Diri dan Alam melalui Upacara Tawur Agung Kesanga di Candi Prambanan
Menarik ya, Millens? Namun, kesenian ini bisa punah jika tidak segera dilestarikan. Yuk, ikut melestarikan mulai dari hal yang kecil seperti menyebarkan informasi ini agar masyarakat tahu soal Ching Pho Ling. (MEI/SA)