Inibaru.id – Nggak lama ini saya berbelanja di sebuah warung kelontong yang nggak jauh dari rumah saya. Toko kelontong ini sudah ada sejak saya masih sekolah dasar. Ada satu hal yang nggak pernah berubah selain lokasinya, yaitu cara penjual berkomunikasi dengan pembelinya.
Wuk, begitulah penjual warung menyapa setiap anak perempuan seperti saya sekian tahun silam. Tapi setelah saya beranjak dewasa, panggilan itu nggak lagi saya dapatkan.
Di era informasi dan teknologi yang pesat seperti sekarang, saya menduga penjual di warung ini akan melayani pembeli menggunakan bahasa nasional. Tapi nggak, lo. Alih-alih dipanggil wuk, saya malah diajak berbincang menggunakan bahasa Jawa krama.
Barangkali karena hanya beberapa kali saya belanja ke warung ini, penjaga warung memilih bahasa Jawa krama ketimbang ngoko. Saya sendiri bertutur dengan bahasa Jawa ngoko hanya dengan teman sebaya atau yang lebih muda saja. Misuh-misuh juga bisa kalau sedang berhadapan dengan teman sebaya. He-he
Sempat terlintas di pikiran saya, apakah tingkat tutur yang dimiliki bahasa Jawa juga berarti mengkotak-kotakkan orang Jawa? Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, nggak pas juga berpendapat demikian. Ini karena tingkat tutur dalam bahasa Jawa nggak bisa dipisahkan dari norma-norma dalam kebudayaan jawa.
Menumbuhkan Karakter Lewat Bahasa Jawa
“Produk-produk kebudayaan itu tercipta bukan lahir dari ruang hampa kebudayaan. Dia akan menemukan konteksnya masing-masing. Bahwa speech level akan sejalan dengan bagaimana menempatkan diri dalam konteks tertentu,” begitu ungkapan Dhoni Zustiyantoro, Dosen Bahasa dan Sastra Jawa Unnes pada saya.
Singkatnya, Bahasa Jawa secara nggak langsung menumbuhkan karakter empan papan atau bisa menempatkan diri sesuai situasi bagi penuturnya. Nggak hanya itu, karakter seperti rendah hati dan sopan santun juga dapat diterapkan melalui bahasa Jawa.
Salah satu usaha untuk melestarikan bahasa Jawa dan beberapa kebudayaanya bisa ditemui di Kampung Jawi yang berada di Kalialang Lama, Gunungpati, Semarang. Tua-muda di kampung ini dibiasakan memakai bahasa Jawa dalam keseharian dan berbagai kegiatan kampung.
Saat saya berkunjung, warga yang tengah cangkruk (nongkrong) menjawab setiap pertanyaan saya dengan bahasa ngoko alus. Ya, malam itu saya hendak bertemu Siswanto, aktivis kebudayaan Jawa yang juga merupakan ketua RW 1 Kalialang Lama.
Dalam pernyataannya, lelaki yang akrab dipanggil Sis ini mengamini apa yang dikatakan Dhoni.
“Bahasa Jawa itu juga berhubungan dengan kebudayaan Jawa dan juga berdampak pada unggah ungguh juga,” kata lelaki 3 anak ini.
Menurutnya, bahasa Jawa nggak bisa dipisahkan dari berbagai kebudayaannya pula. Dalam usahanya mengajar Bahasa Jawa, Sis mengaku anak didiknya juga diberi pendidikan unggah-ungguh. Nggak dinyana, hal ini bisa membentuk karakter mereka.
“Beberapa orang tua bilang ke saya, katanya anaknya jadi lebih sopan di rumah,” terang Sis.
Ini yang membuat bahasa Jawa dan tingkat tuturnya akan tetap relevan meski zaman semakin edan. Bagaimana menurutmu Millens? (Dyana Ulfach, Zulfa Anisah/E05)