Inibaru.id - Saat mengikuti perkumpulan Teosofi Semarang, dibanding informasi tentang Teosofi, hal yang bikin aku penasaran adalah alasan kenapa semua anggotanya menekuni khazanah ilmu ini. Sumbangsih apa yang telah Teosofi berikan ke dalam hidup mereka dan bagaimana awalnya mereka bisa menjadi anggota?
Selama perkumpulan, para jemaat senantiasa bersikap terbuka. Aku ngobrol banyak hal dengan mereka. Satu demi satu rasa penasaranku terjawab.
Aku harus berterima kasih pada Adi Suswoyo. Dia salah seorang jemaat yang saya ajak berbincang hari itu. Mau aku gambarkan seperti apa orang ini saat mengikuti perkumpulan? Dia berpeci hitam dan berpakaian rapi. Mirip seperti orang mau ke Masjid. Laki-laki 64 tahun ini punya kebiasaan berbicara dengan nada tinggi. Namun sebenarnya, apa yang disampaikannya lembut.
“Awalnya diajak teman. Setelah belajar saya jadi paham, bahwa kita tidak hidup sendiri. Atau bisa dibilang hanya bagian kecil dari alam semesta,” ujarnya pada Jumat (3/7/2020) di Sanggar Wijayakusuma.
Saat pembahasan materi, Suswoyo sedikit berkomentar dengan argumen yang penuh logika. Sepengalamanku, biasanya bapak-bapak usia seperti ini sering melantunkan pemahaman tentang agama yang hanya berbasis percaya, tapi Suswoyo nggak.
Kemudian Yohanna Theresia Ina, kalau dia juga malah sekaligus sekretaris Persatuan Warga Theosopy Semarang (Perwatin). Ina sebagai penghubung saat aku hendak ikut perkumpulan. Dia juga bercerita tentang bagaimana dia bisa ikut Teosofi.
“Awalnya saya itu orang yang temperamen. Saya itu ikut Teosofi sudah sejak dari usia 20-an,” jelas Ina.
Ajaran Teosofi, lanjut Ina, bukan pemahaman yang tiba-tiba turun dari langit begitu saja. Tapi secara terstruktur dan logis. Itulah kenapa di usia muda dia terus tertarik bergabung ke Teosofi.
Bahkan, Ina sampai menjadi vegetarian. Oh, iya, satu yang unik, biasanya para pengikut Teosofi adalah vegetarian. Alasannya yaitu kalau manusia juga harus bersahabat dengan semua mahluk. Termasuk mineral, tanaman, dan binatang.
Binatang merasakan kasih saat disayangi dan merasa sangat sakit ketika terluka. Maka dari itu, bagi yang sudah terketuk, hasilnya adalah menjadi vegetarian. Tapi sekali lagi, ini bukan keharusan.
Kemudian juga Muhammad Zazuli, dia juga menulis buku tentang sejarah agama, ketuhanan, dan astrologi. Teosofi merupakan salah satu lahan belajarnya. Saat kali pertama datang dia mengaku sering silang pendapat dengan jemaat lain.
“Awalnya kan khazanah saya belum luas. Saya sering beda pendapat. Tapi lambat laun jadi paham,” ujarnya.
Dengan profesi yang dia geluti, aku kira pantas saja kalau Zazuli betah mengikuti perkumpulan Teosofi. Sepanjang kumpul, Zazuli bahkan banyak menerangkan apa-apa saja tentang Teosofi.
“Teosofi memang tidak dikenalkan tapi merupakan panggilan dalam nurani masing-masing,” kali ini kata Hadi Wiranu seakan menengahi semua pembicaraan. Dia nggak banyak bicara dalam sesi kali ini, namun sekalinya bicara dia tampak tahu mana yang harus dijelaskan kepadaku yang awam ini.
Hadi kemudian menjabarkan maksud perkataannya. Artinya, kebanyakan orang yang ingin ikut Teosofi itu sebetulnya sedang tahap mencari. Mereka belum selesai terhadap keyakinannya, meskipun nggak pernah ada yang benar-benar selesai.
Tapi memang katanya begitulah Teosofi. Kamu nggak harus percaya. Kalaupun percaya keyakinan itu disahkan untuk pemikiran masing-masing, Millens. (Audrian F/E05)