Inibaru – Inilah Dea Valencia Budiarto, perempuan muda yang sudah berbisnis sejak usia 17 tahun. Nggak hanya cantik, dia juga cerdas. Wanita yang akrab dipanggil Dea itu sudah mengenyam bangku kuliah pada usia masih belia, yaitu 15 tahun. Ketika lulus dari Universitas Multi Media Nusantara, dia berusia 18 tahun dan memutuskan untuk kembali ke Semarang untuk fokus membuka usaha batik. Namnya Batik Kultur, yang tokonya berada di Jl Gombel Lama No 32, Tinjomoyo, Banyumanik, Kota Semarang.
Ya, sejak lama Dea memang menyukai batik. Menurutnya, itu caranya untuk menghargai budaya Indonesia. Namun, dia nggak pernah berpikir untuk berbisnis. Karena tuntutan ekonomilah dia mencari cara kreatif untuk peroleh uang tambahan. Dan kini usaha batiklah yang membesarkan namanya.
“Awalnya aku berbisnis batik dengan menjual koleksi kain batik punya ibu aku. Hasil penjualan tersebut digunakan untuk modal bisnis aku sendiri,” ceritanya, seperti dilansir Detik.com (20/1/2018)
Dea mengawali penjualan batik saat kuliah semester tiga. Awalnya penjualan melalui Facebook dan hanya 20 potong baju. Saat ini jangan ditanya, penjualannya mampu mencapai 600 potong per bulan.
Millens tahu, desain Batik Kultur milik Dea, terbilang unik, modern, dan anak muda banget. Konsep itu bermula dari keinginannya membuat model baju batik seperti yang dia mau. Nah, disini dia nggak hilang akal. Dia menggunakan batik kuno milik ibunya, digunting-gunting dan dipadukan dengan bahan lain, lalu dijahit hingga menghasilkan corak baju modern. Kreativitas batik lawas dalam kemasan modern itu diminati banyak orang.
“Sekarang kami memiliki lebih dari 8.500 pelanggan dari Indonesia maupun luar negeri.”
Karakteristik desain Batik Kultur yang unik dan orisinal itu memikat lebih dari 3.000 pelanggan yang tersebar di Indonesia, juga negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Hongkong, Belanda, Singapura, dan Norwegia. Melalui online marketing pula, brand Batik Kultur pun menyebar.
Sebagai sarjana komputer, Dea paham gimana besarnya kekuatan internet sebagai medium pemasaran produk. Karena itu, 95% pemasaran dan penjualan Batik Kultur memanfaatkan media sosial seperti Facebook dan Instagram. Dia juga meluncurkan situs batikkultur.com.
Untuk kainnya, Dea memproduksi secara handmade loh. Motif batiknya mengambil motif Solo dan Pekalongan. Karena Dea nggak bisa menggambar, dia mengajak satu orang untuk jadi partner yang bisa mentransfer imajinasi desain dari otaknya dalam bentuk gambar.
Kini, Dea tidak hanya memproduksi batik dengan motif tradisional loh. Dia memodifikasi dengan motif lebih modern. Salah satu motif terbaru yang diproduksinya dinamai Little Riding Hood. Motif ini, disesuaikan dengan motif antik dari era 1990-an.
Yap, lewat Batik Kultur, Dea mendorong generasi muda untuk mengenal dan mengapresiasi batik dan kain tradisional Indonesia.
Oya satu lagi yang patut diapresiasi dari usaha Dea. Dia memiliki 70 karyawan yang 35 di antaranya adalah penyandang disabilitas seperti tunarungu, tunawicara dan tunadaksa. Tujuan Dea, untuk mendukung mereka agar bisa hidup lebih mandiri, bisa punya karya, dan bermanfaat buat banyak orang. Menurut Dea, setiap orang layak mendapat kesempatan yang sama, termasuk mereka.
“Saya ingin memberikan mereka kesempatan untuk memberikan kontribusinya di balik perbedaan mereka. Dan ternyata banyak pelajaran yang bisa diambil seperti ketekunan dan semangat untuk belajar,” kata Dea, dikutip dari zilium.com (20/1/2018).
Perempuan kelahiran 14 Februari 1994 ini kini menjadi penggerak young technopreneurship di kalangan teman-teman seusianya.
Nah, saat ini nggak hanya cerdas yang dibutuhkan atau kreativitas, tapi juga kepedulian terhadap sesama. Dea sudah membuktikan itu, Sobat Millens. (LIF/SA)