Inibaru.id – Pada 1970-an, Kota Semarang masih sepi dari angkringan. Sosok Sugiyo atau kerap yang disapa Pak Gik membuat angkringan di sebuah gang kecil dekat dengan semacam kanal. Berbeda dengan angkringan-angkringan saat ini yang mayoritas buka pada waktu magrib hingga malam pukul 12, angkringan Pak Gik ini awalnya buka pukul dua dini hari.
Generasi kedua dari Sugiyo, yakni Purwanto menceritakan, angkringan dibuka pada malam dini hari karena dahulu minuman yang disediakan seperti ronde, jahe, dan teh sangat cocok untuk malam hari.
“Kenapa buka malam? Dulu awal mulai minuman yang disediakan berupa jahe, ronde, dan teh. Tempatnya sebenarnya biasa, yang bikin unik itu dulu sekitar sini kan belum ada nasi kucing. Pertama kan sini. Ada juga Mbahe di dekat Gereja Bethany,” katanya.
Lama-lama, orang jarang memesan jahe atau ronde. Karena itu, kedua minuman ini nggak lagi disediakan. Justru yang paling laris adalah teh. Menurut orang-orang, teh di sini sangat nikmat. Selain teh, ada juga minuman lain seperti kopi dan susu saset.
Rata-rata pengunjung Angkringan Pak Gik merupakan anak muda dan mahasiswa. Berbeda dengan era 60 hingga 70-an yang kata Purwanto mayoritas pembeli adalah orang tua. Hal ini nggak mengherankan sebab ronde banyak disukai orang tua.
Baca Juga:
Ditemani Remang Teplok, Makan di Angkringan Pinggir Kali Semarang Ini Suguhkan Sensasi BedaMenurut Purwanto, para anak muda yang datang dulunya diajak oleh orang tuanya. Karena merasa cocok lalu jadi langganan. Nggak cuma dari Semarang, orang dari luar kota pun datang.
“Dari luar kota hingga Jakarta juga datang. Untuk kumpul-kumpul hingga pinggir jalan, tanpa tikar, mungkin koran saja, atau duduk langsung. Yang datang pun dari beragam kota dan kalangan. Bahkan ada yang dari Gunungpati, antara ongkos kendaraan dan yang dibeli lebih besar ongkos transport,” tambah Purwanto.
Meski begitu, buka malam hari juga memiliki tantangannya tersendiri. Terlebih semenjak ada diskotek yang berdiri nggak jauh dari angkringan, kerap ada insiden makan lima tapi hanya mengaku dua. Purwanto menyiasatinya dengan menghitungnya dulu sebelum makan.
“Sekarang aman, kalau zaman dulu ada orang yang mabuk ke sini. Makan lima ngaku dua. Pernah malam itu tombok saking banyak yang nakal,” ucapnya.
Di sisi lain, saingan angkringan saat ini banyak dan di mana-mana berdampak pula pada jumlah pembeli yang berkurang. Zaman 70-an dulu full hingga trotoar, bahkan sebelum angkringan buka sudah banyak pembeli yang menunggu. Ini membuat para pekerja nggak bisa santai, salah satunya Surono.
“Dulu pegawai nggak bisa duduk-duduk santai seperti ini. Semenjak 2010 ke atas, pengunjung tinggal sekitar 65 persen. Sebelum angkringan lain banyak yang datang dengan fasilitas yang lengkap seperti wi-fi,” kata Surono pekerja serabutan yang ikut Angkringan Pak Gik sejak 2006 ini.
Kamu sudah pernah ke sini belum, Millens? (Isma Swastiningrum/E05)