Inibaru.id - Suatu ketika, saat saya SMA, ada salah seorang teman yang ke sekolah dengan mengenakan jaket keluaran salah satu brand ternama di dunia. Saya naksir, sekaligus penasaran dengan jaketnya.
Pakaian itu memang tampak bekas dan cukup terlihat sudah pernah dipakai sebelumnya. Namun, kualitas dan label di kerahnya menandakan jaket tersebut bukan barang abal-abal.
Singkat cerita, teman saya akhirnya mengatakan bahwa jaket itu dia beli di "awul-awul", semacam gerai pakaian bekas yang kebanyakan berbanderol cukup miring. Harga jaketnya bahkan jauh lebih murah dari perkiraan saya.
Sejak itu, awul-awul jadi tempat alternatif untuk fesyen saya. Namun, saya nggak bisa selalu mengandalkan tempat tersebut. Kendati punya peluang menemukan baju branded di sana, saya lebih sering kecewa dengan barang yang saya beli, meski beberapa kali sempat nemu barang bagus.
Di Semarang, tempat awul-awul favorit saya adalah di Jalan Ki Mangunsarkoro. Namun, lantaran pandemi corona, lapak yang biasa digelar tiap Minggu pagi itu tutup. Saya sejatinya penasaran, gimana pedagang awul mendapatkan pasokan barang bekas itu en gimana cara mereka jualan?
Rasa penasaran itu kemudian membawa saya ke tempat awul-awul di Jalan MT Haryono pada Selasa (12/5/2020) lalu. Pada masa pandemi semacam ini, beberapa lapak awul-awul di Semarang memang banyak yang tutup, termasuk yang ada di sekitar Banyumanik dan bilangan Ngesrep.
Kebetulan, hari itu awul-awul di MT Haryono masih buka. Beberapa pedagang masih menggelar dagangan. Lokasinya sekitar sepelemparan tombak dari Bundaran Bubakan, Semarang Tengah.
Orang pertama yang saya sambangi adalah lapak Edi Purwanto yang mengaku sudah turun-temurun menjadi penjual awul-awul. Lelaki asal Sumatera Selatan itu mengatakan, dirinya mendapatkan barang dagangan dari pabrik-pabrik di Pekalongan.
“Sekali beli selusin. Per lusin berisi macam-macam, bisa celana denim atau kemeja," kata Edi. "Satu celana dihargai Rp 65 ribu.”
Nggak jauh dari Edi, ada Runiyem. Nenek berusia 69 tersebut mengaku sudah sejak 1985 dirinya menjadi pedagang awul-awul. Dia mengaku mendapatkan barang dagangan dari membeli baju dari pelbagai tempat, bahkan beli dari orang.
“Ada yang bajunya sudah nggak terpakai, jadi saya beli. Tapi, itu juga milih-milih. Nggak sembarangan!” ujarnya.
Berbeda dengan lapak Edi yang baju dagangannya tampak baru, lapak Runiyem justru terlihat lebih "random". Di tempat tersebut, ada baju-baju yang "unik" seperti seragam pekerja jalanan dinas kebersihan, pakaian dinas perhubungan, hingga baju PNS.
Harganya? Pakaian di lapak Runiyem punya rentang harga yang beragam, mulai dari Rp 5.000 sampai Rp 75 ribu. Itu pun masih bisa ditawar, bukan harga pasti seperti kalau kamu beli di mal.
Selain baju bekas, Runiyem juga berjualan celana dari pabrik di Pekalongan seperti yang dipampang Edi di lapaknya. Untuk celana denim, dia menjelaskan, mendapat keuntungan Rp 10 ribu.
“Orang sekali beli biasanya lebih dari satu, bisa 2-3 potong,” pungkasnya.
Nah, buat kamu yang berkantong tipis, membeli baju "preloved" di awul-awul mungkin bisa jadi pilihan. Eits, tapi habis beli jangan langsung dipakai ya! Cuci dulu yang bersih! (Audrian F/E03)