Inibaru.id - Di tengah klaim sejumlah kalangan yang menyatakan daya beli masyarakat menurun tahun ini, pasar daring ternyata menunjukkan hal yang berbeda, yakni terus bergeliat. Tokopedia, mengklaim, lesunya daya beli itu bahkan tak berimbas pada penjualan “mall” online tersebut.
Communications Lead Tokopedia, Siti Fauziah, mengaku, perusahaan tetap tumbuh, baik dari segi volume maupun transaksi. Bahkan Ia menyebutkan bahwa starup miliknya itu mampu menghasilkan trilliunan rupian dari penjualan.
"Bisnis kami tetap mengalami peningkatan di setiap tahunnya. Saat ini di Tokopedia terdapat jutaan merchants yang menghasilkan lebih dari Rp 1 triliun per bulan lewat lebih dari 40 juta produk siap dibeli dengan harga terbaik dan transparan," ungkapnya kepada Detikcom, baru-baru ini.
Ya, ekonomi digital Indonesia memang terus menggeliat. Meski belum berkontribusi besar dalam perekonomian tanah air, keadaan ini tentu menggembirakan.
Baca Juga: Intip Laju Perkembangan Startup di Indonesia
Dilansir dari Beritagar, Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo menyatakan, sepanjang 2016, orang Indonesia menghabiskan Rp 75 triliun buat belanja daring. Jika dipukul rata kepada 24,73 juta netizen dalam negeri, rata-rata mereka menghabiskan Rp 3 juta per tahun, hanya untuk belanja daring.
“Pertumbuhan perusahaan-perusahaan rintisan berbasis digital luar biasa, baik di sektor perdagangan barang dan jasa (e-commerce), moda pembayaran, maupun pembiayaan," ujar Agus, seperti dikutip dari CNNIndonesia.com.
Melihat angkanya yang fantastisini, Agus mengatakan bahwa pemanfaatan revolusi digital dalam kegiatan ekonomi masyarakat dapat mendorong pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 7 persen. Pada semester I tahun ini, pertumbuhan ekonomi di Indonesia saja mencapai 5,01 persen.
Saat ini investasi teknologi informasi di sektor-sektor pendorong pertumbuhan ekonomi, seperti sektor manufaktur atau pertambangan relatif masih rendah. Tapi investasi di sektor tersier seperti e-commerce dan fintech (layanan keuangan berbasis teknologi) lumayan nilainya.
"Diperkirakan mencapai US$1,7 miliar," ujar Agus seperti dikutip dari Kompas.com.
Dengan perkiraan kurs dolar sebesar Rp13.300, nilai investasi itu setara Rp 22,61 triliun. Agus menilai, investasi ini wajar digelontorkan mengingat besarnya jumlah pengguna aktif media sosial secara global yang tahun lalu menjadi 2,8 miliar pengguna. Media sosial menjadi salah satu sarana jual beli daring.
Baca Juga: Wah, Purwakarta Bakal Punya Hotel Gantung Tertinggi di Dunia
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada Maret 2016, daerah dengan persentase jual beli daring terbanyak ada di Kalimantan Timur. Sebanyak 23,11 persen warganya menjadi pelaku jual beli daring.
Menurut riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada 2016 komoditas yang paling banyak dibeli jual beli online adalah tiket. Sementara metode pembayaran yang paling banyak digunakan adalah transfer lewat ATM.
Dalam perkiraan Agus, hingga tahun 2025, digitalisasi ekonomi bisa memberikan nilai tambah hingga US$150 miliar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Angka tersebut setara dengan 10 persen perekonomian Indonesia.
Agus, mengutip studi firma riset konsultan McKinsey & Company tahun lalu, pertumbuhan ini bakal dibarengi dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja mencapai hampir 4 juta orang.
Namun peluang ini datang bukan tanpa tantangan. Ada beberapa hal yang membuat kemajuan digital belum bisa optimal.
Pertama, penetrasi internet di Indonesia tergolong masih rendah, yakni sekitar 51 persen pada tahun 2016 lalu.
"Angka ini relatif jauh di bawah negara-negara tetangga kita, seperti Malaysia yang penetrasinya 71 persen dan Thailand 67 persen," kata Agus.
Di negara maju, seperti Inggris dan Jepang, penetrasi internetnya sudah mencapai 90 persen.
Kedua, kualitas layanan internet yang relatif masih tertinggal bila dibandingkan dengan negara lain. Dan ketiga, investasi di bidang teknologi informasi yang masih tertinggal dibanding dengan negara lain. (GIL/IB)