Inibaru.id - Wilayah pesisir nan gersang dan panas plus kondisi air yang agak payau di Kelurahan Trimulyo, Kecamatan Genuk, Kota Semarang, tentu bukanlah tempat yang tepat untuk bercocok tanam. Namun, nyatanya kegiatan bertani tetap bisa dilakukan di sana, khususnya di RT 5 RW 14.
Debu yang selalu beterbangan didera roda truk yang keluar-masuk Kawasan Industri Terboyo serta emisi gas buang kendaraan dan pabrik yang bikin udara kotor rupanya nggak bikin warga menyerah. Hasilnya pun positif.
Belum lama, Wakil Walikota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu bahkan sempat mengapresiasi aktivitas mereka. Penasaran, saya pun menyambangi para "petani urban" tersebut pada Selasa, 23 Juni 2020.
Tiba di lokasi sekitar pukul 10.00 WIB, nggak ada aktivitas pertanian apa pun di lokasi itu. Warga yang kebanyakan berprofesi sebagai buruh pabrik biasanya baru mulai bercocok tanam sepulang kerja, dari sore hingga malam.
Namun, karena sudah janjian sebelumnya, saya pun bertemu dengan Parmin, salah seorang penggerak pertanian, dan Jumiati, Ketua PKK RT 5 RW 14. Keduanya kemudian saya ketahui punya andil besar atas terciptanya pertanian urban di Kelurahan Trimulyo ini.
Semua Karena Pandemi
Bertani di tengah kondisi geografi yang kurang bersahabat dan udara yang tercemar polusi bukanlah perkara mudah. Berkali-kali Jumiati dan warga lain mencoba memperhijau kampungnya, tapi nggak juga menuai hasil yang diinginkan.
Kepada saya, Jumiati menuturkan, sebelum ada aktivitas cocok tanam ini, kampungnya memang agak kumuh. Dia dan kawan-kawan sempat mencoba bikin bank sampah, tapi kebersihan tetap saja belum terwujud.
Usaha memperasri pekarangan rumah juga coba mereka lakukan. Penghijauan, lanjutnya, telah lama diciptakan, tapi nggak terpusat alias di rumah masing-masing.
"Pertanian terpusat baru dilakukan saat pandemi corona melanda," terang Jumiati, yang segera dibenarkan Parmin.
Parmin, yang dikenal sebagai salah satu petani penggerak, pun mulai menceritakan gimana ihwal mula pertanian lahan sempit tersebut terbentuk. Semula, kata dia, warga kampung yang sebagian besar bekerja sebagai buruh pabrik, banyak yang dirumahkan. Mereka lalu berupaya mencari kegiatan lain.
“Waktu itu kepikiran menanam lombok,” ujarnya.
Ide tercetus, tapi nggak langsung tereksekusi dengan baik. Kondisi geografis di wilayah mereka rupanya berpengaruh besar terhadap pertumbuhan tanaman. Parmin menuturkan, berulang kali palawija yang mereka tanam nggak gagal bertahan. Sekalinya hidup, tanaman diserang hama.
Namun, hambatan itu nggak langsung bikin mereka menyerah. Parmin dan warga lain mulai mencari berbagai referensi dari internet. Hasilnya, metode semi-hidroponik pun mereka coba terapkan.
Berbeda dengan hidroponik yang sepenuhnya menggunakan media tanam air, pertanian semi-hidroponik masih memakai media tanam lain pada pot, yang dipadukan dengan air.
"Kami pakai media tanam pot yang kami beri sekam. Kemudian, untuk menyerap air, pot kami beri sumbu (yang dihubungkan ke air),” terang Parmin.
Sukses dengan lombok, mereka pun mulai menjajal berbagai tanaman lain, dan berhasil. Semua tanaman bisa hidup subur dan nggak ada lagi kendala dengan kondisi geografis. Yang unik, mereka menggunakan micin (penyedap rasa) untuk memberantas hama.
Puncaknya, "kebun" cabai yang mereka tanam membuahkan hasil. Seluruh warga merasa senang. Kegembiraan itu kian bertambah lantaran panen perdana itu dihadiri Hevearita. Wakil Walikota Semarang.
“Ya, berarti kerja keras kami nggak sia-sia. Ini murni dari usaha kami, nggak ada guru di sini,” ungkap Parmin, bangga.
Setali tiga uang, Jumiati juga merasa bangga dengan pencapaian tersebut. Namun, menurutnya, cocok tanam ini belum apa-apa. Karena itulah dia berharap seluruh warga nggak segera berpuas diri, yang justru bakal mengendurkan diri untuk membuat penghijauan.
“Ini masih awal, jangan sampai semangat mengendur!” pungkasnya.
Untuk siapa pun yang merasa punya passion bercocok tanam tapi nggak punya cukup lahan, mungkin kamu perlu datang ke kampung ini, Millens! Percayalah, kamu bakal lebih bersemangat! (Audrian F/E03)