Inibaru.id - Dia adalah seniman Doodle art, yakni sebuah gambar yang bentuknya nggak teratur dan terdiri dari beragam karakter. Masing-masing karakter memiliki makna yang mendalam baik dari bentuk atau warna. Dan itulah yang dihasilkan oleh Hana Alfikih atau yang lebih akrab disapa Hana Madness.
Berkat karya-karya doodle art-nya, nama Hana cukup melejit. Mulai dari pameran, penggunaan brand, hingga diundang ke acara bergengsi di luar negeri seperti Unlimited Festival di Inggris. Dia juga pernah berkolaborasi dengan seniman Inggris untuk mengisi film dokumenter yang berjudul In Chains. Yang terbaru, dia menjadi satu-satunya seniman Indonesia yang memamerkan karya lukisnya di Kota St Helens dalam rangka Festival TakeOver.
Namun ada cerita getir di balik kesuksesannya tersebut, Millens. Siapa nyana, perempuan yang lahir di Jakarta pada Oktober 1992 tersebut mengalami masa kecil hingga remaja dengan keadaan muram. Ya, Hana merupakan salah seorang pengidap Bipolar Disorder. Sebuah penyakit gangguan mental yang nggak semua orang menyadarinya.
Pada Jumat (24/1) malam tepatnya di Senja Coffee Rooftop, Tembalang, Kota Semarang, dalam acara “How to Face Mental Disorder with Kindness and Art”, Hana berkesempatan membagikan pengalamannya.
Sejak SD hingga SMP Hana tumbuh menjadi seseorang yang
mempunyai gangguan mental. Hal tersebut ditandai dengan perubahan emosi yang
cukup drastis. Bahkan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari pun, dia sangat terganggu. Kelabilan emosinya membuat teman-teman Hana menyingkir.
“Dulu aku benar-benar ekstrem. Sampai dijauhi orang-orang, merasa nggak punya siapa-siapa lagi. Pulang jarang-jarang, sampai tidur di sembarang tempat,” tutur Hana.
Hana mengungkapkan kalau saat mengalami gangguan mental itu dia benar-benar frustrasi. Dia menjadi sering nangis, menyakiti diri sendiri hingga hampir bunuh diri.
Gangguan mental Hana didiagnosis datang dari berbagai faktor. Yang jelas, pemicu utama adalah karena dari lingkungannya yang nggak baik bagi tumbuh kembang seorang anak. Selain itu dia juga mendapat pelecehan seksual, kekerasan, ditambah pola asuh orang tua yang salah.
Kala itu pengetahuan soal gangguan mental memang belum
terpublikasi dengan baik, dampaknya, orang tua Hana nggak memandang masalah
tersebut secara medis. Mereka lebih memilih mengurungnya di rumah sampai
merukiahnya. Duh!
Dalam menghadapi permasalahannya, Hana menuangkannya ke dalam seni menggambar. Tipe gambar doodle art-lah yang dipilihnya. Kata Hana, ungkapan seninya sangat membantu memulihkan kondisinya.
“Memang sejak lama aku kalau ke sekolah itu kerjaannya gambar terus. Nggak pernah bawa buku pelajaran juga. Lambat laun aku jadi produktif dan bertemu dengan sesama pegiat seni jalanan,” ucap Hana.
Kini Hana menjadi seniman yang berprestasi. Meski kondisinya juga belum sepenuhnya sembuh namun sejauh ini dia masih terus menggambar.
“Saya harap masyarakat makin mengerti bagaimana pengetahuan mengenai gangguan mental beserta penanganannya. Saat ini saya juga nggak berhenti bersama teman-teman terus mengadvokasikannya,”
Wah, semoga makin banyak yang mengerti penanganan gangguan bipolar ya. (Audrian F/E05)