Inibaru.id – Pada acara ulang tahun radio Sonora FM Semarang, penulis Prie GS menceritakan pengalamannya dalam dunia penerbitan buku. Dia lebih memilih menerbitkan bukunya sendiri bukan karena menolak penerbit, tapi malah ingin membantu penerbit.
“Aku membantu toko buku agar kuat mengakomodasi buku-bukuku. Kalau nggak laku, bukan karena tidak laku, tapi ada yang missing,” katanya.
Faktor missing di sini dikaitkan dengan segmentasi pembaca. Menurut Prie GS, para pembaca karyanya adalah para leader yang tak sempat ke toko buku. Kalau pun ke toko buku, waktunya nggak tepat karena sudah diretur.
Bukunya berjudul Aku Hidupku Humorku yang dia terbitkan sendiri dijual dengan harga Rp125.000 per buah. Keuntungan yang didapat bisa untuk umroh sekeluarga. Sedangkan royalti dari penerbit mainstream, hanya cukup untuk belanja istri selama sebulan.
“Ternyata ada fakta bahwa toko buku kadang-kadang kelelahan merawat buku karena nggak laku. Saya lihat di toko buku kadang di pojokan sana, sekian bulan. Kadang-kadang malah didiskon limang ewu. Hina men toh. Aku nulis koyo nggawe anak’e,” selorohnya kesal.
Akhirnya dia menempuh jalan nekat lo, Millens. Bukunya yang dijual murah di penerbit mainstream dia borong semua. Lalu buku itu dia jual sendiri dan laris. Baginya penting yakini pada diri sendiri dalam tahap ini. Tuhan nggak memberikan bakat jika nggak bisa jadi rezeki. Hm
“Seperti buku berjudul Mendadak Haji, sisa sekitar seribu sekian, ketahan di penerbit. Penerbit jual lima ribu, tak borong di seluruh gudang. Tak dol 65 ribu, habis. Rejeki kedaulatan itu bukan kalkualasi dagang. Kamu tak tega dengan kekeramatanmu,” katanya.
Prie GS juga mengaku nggak mau menggratiskan bukunya. Ilmu baginya harus berjerih payah. Begitu pun yang dilakukan dalam setiap kelas khusus privat Prie GS. Dia selalu menyugestikan mahal. Sebab baginya itu bagian dari kemartabatan: ilmu kudhu keringeten.
Jadi, Millens, masih berniat nulis buku kan? Semangat ya! (Isma Swastiningrum/E05)