Inibaru.id - Bercelana atau rok panjang, baju juga lengan panjang; Bertopi atau mengenakan penutup kepala, lalu membelit muka dengan kain hingga hanya mata saja yang terlihat, begitulah para penyapu jalanan ini biasa berkostum. Ke mana-mana, mereka menenteng sapu lidi dan pengki.
Di kota-kota besar, tugas mereka begitu kentara. Namun, agaknya hampir nggak ada orang lewat yang tertarik mengenal mereka, bahkan untuk sekadar menyapa namanya, padahal mereka ada. Salah satunya adalah Handayani, yang kebagian menyapu di sekitar Jalan Srirojudin, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang.
Sudah empat tahun dia menjadi penyapu jalan di lokasi yang masih masuk lingkungan Universitas Diponegoro Semarang tersebut. Namun, saat saya bertanya pada beberapa mahasiswa yang kebetulan melintas di jalan tersebut, mereka mengaku nggak tahu nama perempuan berjilbab ini. See?
Handayani memang biasa ditugaskan menyapu daerah Tembalang. Setiap harinya, dia mulai bekerja mulai pukul 05.00 hingga 14.00 WIB. Selama itu, dia diharuskan menyapu hingga ratusan meter di kedua sisi jalanan.
Meski terdengar melelahkan, saat saya temui, perempuan yang juga tinggal di daerah Tembalang itu masih terlihat bertenaga, padahal saat itu sudah bekerja hampir tujuh jam dia bekerja.
"Ya, gimana, dinikmati saja, Mas!" tutur Handayani singkat, tanpa menghentikan kegiatannya menyapu sampah di jalan. "Sebetulnya, kaki agak capai. Cuman, kalau bayangin keluarga di rumah, jadi nggak terasa,” lanjutnya setelah selesai mengatur napas.
Profesi Resmi
Oya, perlu kamu tahu, penyapu jalan seperti Handayani merupakan profesi resmi yang berada di bawah naungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Semarang. Tugas utamanya adalah membersihkan jalanan kota dari kotoran-kotoran seperti plastik, rerontokan dedaunan, dan lainnya.
Hanya menyapu. Orang-orang mungkin berpikir ini merupakan pekerjaan yang ringan. Namun, kalau mengikuti keseharian mereka, yakinlah kamu bakal merasakan gimana melelahkannya hari-hari mereka.
Seorang penyapu jalan harus bersedia berhadapan dengan terik matahari dan derasnya hujan yang bisa turun kapan saja, karena tempat mereka beroprasi adalah alam terbuka. Sulit? Tentu saja! Handayani yang sudah menjalani profesi ini bertahun-tahun pun masih sering mengeluh.
"Yang susah itu kalau hujan. Kan harus pakai jas hujan segala. Tanah juga jadi basah, kotorannya pada nempel ke sapu,” terangnya. Dia tampak mengeluh, tapi sepertinya menerima saja, terlihat dari senyumnya yang tetap renyah sembari bercerita.
Hingga kini, Handayani bahkan kadang masih nggak bisa beradaptasi dengan lingkungan kerjanya saat matahari begitu menyengat. Kendati sudah dibekali topi, terik surya tetap menyulitkan pekerjaannya. Kepalanya kerap pusing, yang mau nggak mau memaksanya menjeda pekerjaan.
Dijalani, Bukan Dikeluhkan
Berbeda dengan Handayani yang mengeluhkan cuaca, Rohani justru lebih mengeluhkan rasa lelah yang acap melingkupinya. Maklum, usia lelaki yang biasa menyapu di Jalan RA Kartini Semarang ini memang sudah menginjak 70-an tahun.
Perihal cuaca, Rohani yang telah menjalani profesi penyapu jalan selama 15 tahun itu tentu sudah kebal. Namun, waktu memang telah menggerogotinya, membuatnya nggak seperkasa dulu. Mudah sekali capai.
"Saya ini sudah 15 tahun kerja, dari yang bayarannya cuma Rp 400 ribu sampai sekarang, alhamdulillah sudah UMK,” ungkapnya jemawa sembari menyapu taman kecil di tengah Jalan RA Kartini.
Rohani memang tampak sepenuh hati bekerja. Wajar kalau dia jemawa. Dia mengaku menikmati pekerjaannya tersebut karena selain alasan kebutuhan hidup, sedari awal dia suka kalau melihat jalanan bersih dari sampah. Alasan-alasan inilah yang membuatnya bertahan hingga belasan tahun.
Agaknya, baik Handayani maupun Rohani nggak akan menyoal apakah namanya dikenal orang atau tidak. Bagi mereka, jalanan yang bersih dan orang-orang yang nggak sembarangan membuang sampah sepertinya jauh lebih penting. Jadi, kamu tentu tahu apa yang bakal membuat mereka terbantu! (Bayu N/E03)