Inibaru.id - Kalau kamu sering jalan-jalan menyusuri berbagai penjuru Kota Semarang pasti nggak akan melewatkan berbagai corat-coret tulisan di berbagai dinding. Namun bukan sekadar corat-coret ya, namun lebih bisa dibilang sebagai sebuah seni tulisan. Seni ini bisa disebut juga dengan grafiti.
Nah di Kota Semarang, penggiat grafiti memiliki wadah yang bernama Bring No Clan. Satrio Sudibyo, selaku penggiat mengungkapkan kalau dia lebih nyaman jika menyebut Bring No Clan sebagai wadah alih-alih komunitas. Sebab pada dasarnya memang dibentuk untuk mewadahi para penggambar grafiti di Kota Semarang.
“Bring No Clan untuk kumpul bersama saling sharing dan menyelesaikan masalah secara bersama jika terdapat masalah,” ucap pria yang akrab disapa Dibyo saat ditemui di toko Grafiti Drips and Drops pada Kamis (27/2).
Bring No Clan dibentuk pada 2011 di rumah Komunitas Hysteria yakni di Grobak Art Kos Jalan Stonen 29, Gajah Mungkur, Kota Semarang. Awal mulanya Bring No Clan dibentuk karena dipicu oleh nggak harmonisnya hubungan antarpenggiat grafiti di Kota Semarang.
Menurut Dibyo, grafiti sebetulnya adalah budaya barat. Di sana, penggambar grafiti tumbuh dari lingkungan keras dan memiliki kelompok atau bisa disebut juga gangster. Namun dia langsung meluruskan kalau pada kenyataannya hidup mereka berada di Indonesia. Jadi harus disesuaikan dengan budaya yang ada di sini.
Karena itulah, Bring No Clan berusaha menghapus semua sekat; entah itu senior-junior, kemampuan menggambar atau primordialisme kelompok. "Kami harus bersatu atas nama Kota Semarang,” jelasnya.
Pernyataan serupa datang dari Neyra Ardhi Affandi saat ditemui di toko grafitinya, Reload, pada Kamis (6/3). Dia adalah salah seorang penggambar grafiti
di 12 PM.
Cita-citanya sama, yakni membesarkan nama grafiti Semarang. "Sebetulnya kami tidak kalah seperti kota-kota yang identik dengan grafitinya, seperti Jogja atau Bandung. Cuma ya karena itu kami belum bersatu,” ujarnya.
Semenjak dibentuk sebetulnya Bring No Clan memiliki sejumlah agenda. Seperti menggambar bersama atau edukasi grafiti ke masyarakat umum. Namun lambat laun kegiatan tersebut nggak bisa konsisten. Salah satu penyebabnya adalah tentu dari ketiadaan fasilitas. Alhasil, para tukang gambar ini melaksanakan lebih banyak kegiatan menggambar secara individu, bukan komunal.
Halangan ini juga disadari oleh Dibyo. Baginya grafiti berbeda dari seni lain. "Medianya tembok. Kalau dikerjakan secara komunal pun harus ada tembok yang panjang. Dan kalaupun mau nyari juga nggak gampang," kata Dibyo. Dia juga prihatin karena adanya anggapan kalau grafiti itu sekadar corat-coret tembok atau yang lebih mengerikan, dianggap aksi kriminal.
Meskipun begitu, Dibyo nggak menutup pintu bagi siapa pun yang ingin bergabung dan mengenal grafiti. Secara pribadi dia ingin grafiti lebih diterima masyarakat luas.
“Saya selalu terbuka kalau ada yang mau ngobrol-ngobrol dan coba menggambar. Tapi kuncinya harus benar-benar serius dan nggak gampang bosan,” tandasnya.
Kamu tertarik menggambar grafiti nggak, Millens? (Audrian F/E05)