Inibaru.id - Saya nggak terlalu ingat dalam turnamen apa saya kali pertama melihat permainan Afreanda Dewangga. Yang nggak bisa saya lupakan adalah gaya bermain bocah kelahiran 2001 ini. Menyusuri sisi kiri lapangan dia berlari meliak-liuk melewati lawan-lawannya. Kaki kirinya sangat piawai memperlakukan si kulit bundar. Mirip seperti Ryan Giggs ketika menyusuri sisi kiri lapangan bersama Manchester United.
Dia pemain belakang baru PSIS Semarang dalam menghadapi musim kompetisi Liga 1 2020. Dewangga saya kenal sejak dia menuntut ilmu di SSB Tugu Muda. Dia, dengan potensinya, kerap digunjingkan kalangan sepak bola Kota Semarang.
Tahun ini merupakan kali pertama Dewangga mentas di kelas profesional. Sebelumnya namanya tersiar karena bermain sebagai pemain belakang Timnas U-19 besutan Fachri Husaini. Kemudian dia sempat trial di Persib Bandung, hingga akhirnya dia berlabuh di kota kelahirannya sendiri.
Baca Juga:
Bangga Perkuat Tim Kampung Halaman, Muhammad Ridwan Ingin Punya Peran Penting di PSIS SemarangOh, iya, Dewangga sebetulnya sudah pernah membela PSIS, namun itu masih kelas Elit Pro Academy yang isinya pemain usia di bawah 20 tahun. Itupun hanya 3 pertandingan yang dia ikuti. Selanjutnya, dia diangkut oleh Timnas Pelajar.
Saat saya temui pada Selasa (10/3) di rumahnya, Jalan Pucang Anom Timur, Pucang Gading, Kabupaten Demak. Dewangga, atau yang lebih akrab disapa Dewa berkata kalau masih butuh adaptasi.
“Apapun ini kan tahun pertama bagi saya untuk ikut kasta tertinggi. Jadi ya masih butuh adaptasi meskipun saya nggak ada takutnya kalau berhadapan dengan pemain usia yang lebih tua atau besar,” ujar Dewa. “Soalnya waktu di Timnas kan juga lawannnya tinggi-tinggi,” sambungnya.
Bakatnya ketika masih usia belia tentu bertahan hingga saat ini. Tendangan-tendangan kaki kirinya masih sangat akurat. Bahkan saat uji coba melawan Persik Kendal, dua asistnya membuahkan gol. Itulah mengapa, Dragan Dukanovic, mungkin lebih cepat mempromosikannya daripada pemain muda lainnya.
Namun ada yang berbeda, Millens. Kalau dulu dia lebih diandalkan sebagai pemain sayap, di PSIS dia menempati posisi bek sayap. Saat di Timnas Indonesia dia bermain sebagai stopper.
“Saya tidak masalah di tempatkan di mana saja. Dalam bermain bola saya tidak memetingkan posisi. Yang penting saya main,” ujar Dewa secara tegas dan bersemangat. Selayaknya anak muda.
Semangatnya ini sudah saya buktikan sendiri. Suatu sore, saya mendapati Dewa kena semprot lumayan keras oleh Dragan Dukanovic. Dia tetap enjoy bermain dan jadi lebih bersemangat. Kalau saya jadi Dewa, saya mungkin sudah drop.
Iseng saya tanya tentang momen itu. Penjelasannya sungguh mengejutkan. “Pelatih tidak salah. Saya pun sebetulnya juga tidak salah. Namun saya juga tidak masalah dengan teguran itu. Dalam sepak bola tidak ada yang lembek. Bahkan saat di Timnas, saya pernah mendapat teguran yang lebih keras. Sudah biasa,” ungkap Dewa.
Sebagai pencinta sejati PSIS, saya tentu berharap besar pada Dewa. Terlebih kalau PSIS bisa memaksimalkannya sebagai sebuah aset. Keahlian Dewa memanfaatkan kekuatan kaki kirinya mengingatkan saya pada seorang pemain PSIS yang moncer pada 2005 hingga 2007. Namanya Hari Salisburi. Dalam hati kecil, saya ingin Dewa meneruskannya. (Audrian F/E05)