Inibaru.id - Istilah "tone deaf" awalnya muncul dalam konteks musik, merujuk pada seseorang yang tidak bisa mengenali nada atau ritme dengan baik. Namun, istilah ini telah berkembang dan digunakan dalam berbagai konteks lain, termasuk politik.
Dalam ranah politik, "tone deaf" digunakan untuk menggambarkan ketidakpekaan seorang politikus atau pemimpin terhadap perasaan, kebutuhan, atau situasi yang dihadapi oleh masyarakat.
Seorang politikus yang dianggap "tone deaf" sering kali mengeluarkan pernyataan atau mengambil tindakan yang menunjukkan kurangnya empati atau pemahaman terhadap apa yang sedang dirasakan oleh rakyat. Misalnya, ketika seorang pejabat tinggi memberikan komentar yang tidak pantas atau tidak relevan saat negara sedang mengalami krisis, ia bisa disebut "tone deaf."
Hal ini karena komentarnya menunjukkan bahwa ia tidak peka terhadap kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat, atau tidak memahami dampak dari ucapannya terhadap publik.
Dalam politik, menjadi "tone deaf" dapat merusak citra seorang pemimpin dan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap mereka. Ketidakpekaan terhadap sentimen publik dapat mengalienasi pemilih, mengurangi dukungan, dan memicu kritik luas.
Baca Juga:
Lawan Oligarki, Koalisi Lintas Organisasi Pers Pastikan Media Terus Mempertahankan DemokrasiOleh karena itu, penting bagi para pemimpin politik untuk memiliki kepekaan sosial dan emosional yang baik, agar dapat memahami situasi dengan benar dan meresponsnya dengan cara yang sesuai.
Hm, tone deaf benar-benar fenomena yang patut disayangkan ya, Millens? (Siti Zumrokhatun/E05)