Inibaru.id – Nggak hanya biaya pendidikan yang terus naik, kini banyak orang tua yang juga diresahkan dengan tetek-bengek lain yang terkait dengan sekolah anak-anaknya. Salah satunya adalah acara wisuda yang diadakan saat kelulusan anak TK, SD, SMP, dan SMA. Padahal, dulu wisuda hanya diadakan bagi mahasiswa yang sudah lulus.
Pengamat dunia pendidikan Ina Liem menjelaskan bahwa wisuda awalnya dianggap sebagai penanda bahwa seseorang telah lulus dari perguruan tinggi.
“Itu adalah tanda seseorang tuntas pendidikan formalnya dan akan memasuki dunia kerja,” ucapnya sebagaimana dilansir dari Tribunnews, Rabu (14/6/2023).
Kalau memang seharusnya diperuntukkan bagi kelulusan mahasiswa, kok bisa kemudian wisuda juga dilakukan untuk anak didik di tingkat TK, SD, SMP, atau SMA? Menurut Ina, fenomena wisuda bagi siswa sekolah baru dimulai pada 2000-an.
“Awalnya untuk lucu-lucuan. Anak-anak TK memakai topi wisuda kan difoto kelihatan lucu. Tapi lama-lama malah diseriusin,” lanjut Ina.
Hal serupa diungkap pengguna Quora bernama Harvenya Faelasuffa. Dia membagikan pengalaman ibunya yang seorang guru TK. Awalnya, acara kelulusan anak TK hanyalah berupa acara Pentas Seni dan Perpisahan. Acara ini diisi oleh anak-anak yang menunjukkan bakat dan keterampilannya usai belajar di TK tersebut. Lama-lama, acara ini berubah jadi acara wisuda yang lebih serius.
Meski menyenangkan bagi anak-anak, banyak orang tua yang nggak berkenan dengan adanya acara wisuda ini karena membuat mereka harus merogoh kocek lebih dalam. Padahal, seringkali mereka sudah membayar mahal untuk biaya pendidikan bulanan dan biaya lain-lain.
“Nggak perlu lah acara wisuda yang nggak jelas manfaatnya selain hanya untuk hura-hura. Bikin pusing orang tua. Uang wisuda, uang terima kasih, uang wisata perpisahan, dan lain-lain. Itu semua jenis modus pungli yang nggak terkait dengan dunia pendidikan” ujar Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji sebagaimana dilansir dari Republika, Rabu (14/6).
Menanggapi kontroversi terkait acara wisuda di luar lingkup perguruan tinggi ini, Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud Ristek Anang Ristanto menyebut kegiatan seperti ini harus didiskusikan antara pihak sekolah dan orang tua, nggak boleh diputuskan secara sepihak oleh sekolah. Hal ini sesuai dengan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016.
“Kemendikbud Ristek mengimbau agar pihak sekolah berkomunikasi dengan Komite Sekolah dan persatuan orang tua murid dan guru (POMG),” sarannya sebagaimana dilansir dari Kompas, Kamis (15/6).
Hal serupa diungkap pendiri Ikatan Guru Indonesia (IGI) Satria Dharma. Dia meminta sekolah nggak boleh memaksakan acara wisuda jika memang memberatkan orang tua. Jika orang tua bersedia dan menyatakan bahwa mereka mampu mengadakan acara tersebut, nggak ada salahnya acara wisuda dilakukan.
Jadi, sudah clear ya, Millens. Intinya sih pihak sekolah dan orang tua harus berkomunikasi sebelum memutuskan akan menggelar acara wisuda atau tidak. Jika pihak sekolah memutuskan sendiri, pihak orang tua boleh protes jika memang nggak berkenan. (Arie Widodo/E05)