Inibaru.id - Sebagian konsumen dengan dana yang pas-pasan tentu senang dengan menjamurnya rumah makan padang murah yang menjual masakan Minang dengan harga Rp10 ribu-an saja.
Namun, hal itu nggak disukai oleh masyarakat Minang yang tinggal di perantauan. Terbukti, baru-baru ini, Perhimpunan Rumah Makan Padang Cirebon (PRMPC) melakukan razia dan menghapus label "masakan padang" di rumah makan yang menjual dagangan dengan harga murah.
Ketua PRMPC Erianto menyebut nggak melarang masyarakat non-Minang menjual nasi padang, tapi dia meminta para pengusaha itu agar nggak menjadikan label "murah" dan "harga Rp10 ribu" sebagai alat promosi.
"Kalau yang bersangkutan menolak, ya kami tentu sebagai komunitas Minang keberatan wajar, merasa keberatan," katanya pada bulan lalu.
Sejauh ini, di Cirebon ada sekitar 20 rumah makan padang yang menjual makanan dengan harga murah. Secara gamblang, PRMPC menentang penjualan menu dengan harga murah karena dinilai dapat merendahkan citra kuliner asal Minang.
Seperti yang kita tahu, rumah makan padang terkenal sebagai tempat yang menjual "nasi padang", makanan khas daerah Minangkabau, Sumatra Barat. Nasi padang sering dijadikan alternatif hidangan untuk menikmati sajian khas Indonesia yang kaya rasa. Nggak heran masyarakat Minang di perantauan ingin melestarikan citra bahwa masakan padang adalah makanan "berkelas" yang bahan dan bumbunya nggak boleh dikurang-kurangi hanya biar harga jualnya lebih terjangkau.
Sejarah Rumah Makan Padang
Terlepas dari polemik razia rumah makan padang yang terjadi di Cirebon, sebenarnya keberadaan rumah makan padang di Indonesia yang sangat banyak ini membuktikan bahwa masakan padang sudah menjadi kecintaan masyarakat sejak dulu.
Istilah "Rumah Makan Padang" misalnya, sudah mulai dikenal sekitar akhir 1960-an. Bermula saat bergolaknya peristiwa pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat yang berhasil ditumpas. Hal itu disampaikan pakar sejarah Minangkabau Gusti Asnan, mengutip dari laman Indonesia.go.id.
Peristiwa pemberontakan PRRI ini telah menyebabkan terjadinya eksodus besar-besaran warga keluar dari Sumatera Barat dan bermigrasi ke Pulau Jawa. Hal ini bikin nggak sedikit orang Minangkabau di perantauan berupaya mengganti identitas, termasuk asal etnik dari Minangkabau menjadi Padang.
Perubahan itu juga terjadi dengan menamai kedai sebagai "Rumah Makan Padang", yang dipertahankan hingga kini. Sebelumnya, tempat penjualan makanan khas Minangkabau akrab disebut lapaunasi, los lambung, atau karan.
Seiring berjalannya waktu, yang menjual masakan padang nggak lagi hanya orang Minang. Di beberapa tempat, pemilik rumah makan padang adalah orang Jawa atau dari etnis lainnya.
Nah, kalau menurut pendapatmu, perlukah rumah makan padang "murah" dirazia dan rumah makan padang asli orang Minang diberi lisensi? (Siti Khatijah/E07)