inibaru indonesia logo
Beranda
Hits
Peran Masyarakat Adat dalam Melestarikan Ekosistem Batang Toru
Rabu, 27 Nov 2024 11:00
Bagikan:
Talkshow di Greenpress Community yang digelar Society of Indonesia Environmental Journalists (SIEJ) di M Bloc Space, Jakarta Selatan, Sabtu (23/11/2024) membahas ekosistem hutan Batang Toru. (Ist)

Talkshow di Greenpress Community yang digelar Society of Indonesia Environmental Journalists (SIEJ) di M Bloc Space, Jakarta Selatan, Sabtu (23/11/2024) membahas ekosistem hutan Batang Toru. (Ist)

Ekosistem Batang Toru di Sumatera Utara menjadi surga keanekaragaman hayati yang menghadapi ancaman serius. Dengan kearifan lokal, masyarakat adat telah lama menjaga kelestarian kawasan ini, yang menjadi rumah bagi spesies langka seperti orangutan Tapanuli. Upaya mereka kini diakui dengan pengesahan hutan adat oleh pemerintah.

Inibaru.id - Ekosistem Batang Toru di Sumatera Utara dikenal sebagai kawasan dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Sebagai sumber air dan penyerap karbon, kawasan ini juga menjadi habitat bagi orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies primata paling langka di dunia. Kelestarian ekosistem ini nggak terlepas dari peran masyarakat adat yang telah hidup harmonis dengan alam selama berabad-abad.

Topik ini dibahas dalam talkshow yang digelar Society of Indonesia Environmental Journalists (SIEJ) di M Bloc Space, Jakarta Selatan, Sabtu (23/11/2024). Diskusi yang didukung oleh Green Justice Indonesia (GJI) ini menghadirkan dua pembicara yaitu Onrizal, PhD, pakar konservasi dari Universitas Sumatera Utara, dan Tampan Sitompul, Kepala Desa Simardangiang sekaligus perwakilan Masyarakat Hukum Adat (MHA).

Onrizal menggambarkan hutan Batang Toru sebagai "surga di bumi." Dengan luas sekitar 156.000 hektare, kawasan ini menjadi rumah bagi berbagai spesies langka, termasuk harimau, beruang madu, dan orangutan Tapanuli. Orangutan Tapanuli, yang diidentifikasi sebagai spesies terpisah pada 2017, memiliki populasi kurang dari 800 individu dan kini terancam punah.

"Tapi kita juga ada kabar buruknya bahwa, populasi orangutan tapanuli diperkirakan kurang dari 800 individu, dan habitat mereka kini hanya mencakup 2,5% dari luas habitat mereka 70 tahun lalu. Kondisi ini menjadikan orangutan Tapanuli sebagai spesies yang sangat terancam punah (critically endangered). Macam-macam penyebabnya, mulai dari perkebunan, pemukiman dan lainnya," katanya.

Senada dengan Onrizal, bagi Tampan Sitompul yang menganggap orangutan adalah telah menjadi unsur penting dalam kehidupan masyarakat. “Orangutan adalah saudara kami. Kami berbagi hasil hutan seperti petai dan durian. Tidak ada konflik, hanya saling menghormati,” ungkap Tampan.

Peran Penting Masyarakat Adat

Masyarakat adat sangat menghormati orangutan tapanuli. (via hutanhujan)
Masyarakat adat sangat menghormati orangutan tapanuli. (via hutanhujan)

Tampan Sitompul menceritakan bagaimana masyarakat adat Simardangiang telah lama hidup berdampingan dengan alam tanpa merusak ekosistem. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti kemenyan, petai, durian, dan jengkol menjadi sumber penghidupan utama mereka.

"Kami hidup dari kemenyan. Tidak menebang hutan. Kami pun baru tahu belakangan bahwa kemenyan bisa dibuat untuk parfum Selama ini hanya tahu dijual saja, dan dipakai dukun. Alangkah bodohnya kami kalau selama 400 tahun, kami panen kemenyan hanya untuk dukun, yang untuk memanggil hantu, jin, dan lainnya. Di desa kami tak ada hantu, jin. Yang ada adalah kami, masyarakat adat Simardangiang," katanya.

Pada Agustus 2024, masyarakat Simardangiang mendapatkan pengakuan atas 2.917 hektare hutan adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dia menjelaskan, pada 15 Maret 2024, masyarakat adat di Desa Simardangiang, telah menerima Surat Keputusan (SK) Nomor 6056/2024, yang menetapkan status Hutan Adat di wilayah masyarakat hukum adat seluas 2.917 hektar dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI).

Sebelumnya, mereka juga menerima SK Bupati Tapanuli Utara Nomor 457/2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat seluas 5.797 hektar.

Dari 2.917 hektar itu, 513 hektar di antaranya berfungsi sebagai hutan produksi. "Hutan ini adalah rumah kami. Dengan pengakuan ini, kami berharap dapat terus melindungi dan memanfaatkannya secara berkelanjutan," katanya.

Direktur Green Justice Indonesia (GJI), Panut Hadisiwoyo, menjelaskan bahwa pengakuan legalitas hutan adat memberikan masyarakat hak untuk mengelola hutan sesuai kearifan lokal. “Legalitas ini melindungi masyarakat dari ancaman perampasan tanah dan konflik dengan pihak luar,” ujar Panut.

Hingga kini, beberapa wilayah masyarakat adat di kawasan Batang Toru telah mendapatkan Surat Keputusan (SK) Hutan Adat, termasuk Desa Simardangiang (2.917 hektare) dan Desa Sitolu Ompu (2.234 hektare).

Panut menegaskan, pengelolaan hutan oleh masyarakat adat terbukti lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan dibandingkan model komersial. “Hutan Batang Toru bukan hanya milik lokal, tetapi juga aset global yang harus kita lindungi bersama,” tutupnya.

Semoga semua pihak terus menghormati dan melindungi hutan seperti masyarakat Batang Boru mencintai hutan ya, Millens? (Siti Zumrokhatun/E10)

Komentar

OSC MEDCOM
inibaru indonesia logo

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

Social Media

Copyright © 2024 Inibaru Media - Media Group. All Right Reserved